Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.

Kamis, 18 September 2008

Merokok itu Haram (curhat seorang perokok, yang ingin jadi mantan)

Mungkin pernyataan itu yang sekarang sedang ditunggu kepastiannya oleh beberapa pihak. Pernyataan alias fatwa dari MUI. Sebagian menunggu benar-benar dikeluarkan, sebagian menghadangnya. Kak Seto dan kawan-kawan sama sekali tidak salah waktu meminta MUI untuk segera mengeluarkan fatwa tersebut. Tapi orang-orang yang bekerja di industri rokok itu juga tidak salah menolaknya, karena memang saat ini industri rokok sudah menguasai hajat hidup orang banyak. Yang jelas, sejak polemik itu muncul, sekarang semakin banyak pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan merokok itu. Mulai dari efek-efek sosial, psikologis dan fisik yang disebabkan oleh rokok, curhat-curhat para tokoh yang sukses berhenti merokok dan sebagainya. Kalau dilihat, ada tren positif tentang pembahasan masalah rokok ini. paling tidak kebanyakan publikasi yang berita atau publikasi pembicaraan tentang rokok, mengarah pada satu ujung yang menyatakan ROKOK ITU BURUK. Yang agak kurang memuaskan bagi saya, justru pernyataan dari MUI sendiri. Pada saat semakin banyak badan dan LSM, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menyuarakan pendapatnya tentang buruknya rokok dan lebih buruknya dampak-dampaknya, mendesak MUI segera mengeluarkan fatwa haram, MUI justru menyatakan sedang mengkaji manfaat dan mudaratnya. (Jawa Pos, Senin 15 September 2008, Berharap Fatwa Haram MUI). Mudaratnya sudah sangat jelas. Sudah terlalu banyak pihak yang mengetengahkan pendapat dan bahkan hasil penelitian yang menunjukkannya. Mungkin yang dimaksud MUI dengan “manfaat” rokok lebih mengarah pada masalah-masalah sosial dan ekonomi. Para pekerja di industri rokok, buruhnya bukan pengusahanya, memang harus dipikirkan. Mereka harus dipindahkan ke industri apa agar tidak lantas menganggur. Saya sendiri adalah seorang perokok. Saat ini saya sedang berusaha berhenti dan paling tidak sudah berkurang banyak dari beberapa waktu yang lalu, terutama saat kuliah. Saya ingin berhenti karena telinga saya sudah terlalu panas mendengar orang bicara tentang buruknya merokok dan akibatnya. Saya tidak berhenti-berhenti karena, apalagi kalau bukan kebiasaan. Sekarang saya merokok paling banyak 1 batang sehari, atau pada event khusus dan terdesak....(alah..!!).... 2 batang. Secara pribadi saya sendiri sangat mendukung jika MUI mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Mungkin itu malah bisa membantu saya untuk berhenti merokok. Sebagai seorang muslim, biarpun mungkin masih jauh dari surga, saya juga tidak mengharapkan neraka, dong. Jadi mari kita doakan dan dukung agar MUI segera mengeluarkan fatwanya. Yang sekarang saya pikirkan, mengapa keharaman suatu barang atau hal musti menunggu ada yang mengeluarkan keluhan. Pembahasan tentang fatwa haram untuk rokok baru muncul dan ramai dibicarakan setelah Kak Seto melapor ke MUI. Bisa jadi nantinya ada komoditi lain yang masuk ke negara kita, diterima begitu saja, baru setelah ada keluhan, dibahas tentang halal-haramnya. Saya khawatir kalau nanti akan muncul dan berkembang persepsi dalam masyarakat, bahwa masalah halal-haram ini adalah masalah yang “sesuai kebutuhan” atau malah “sesuai pesanan”. Jika terjadi seperti itu, kewibawaan MUI yang sepertinya sudah melorot itu semakin tidak ada. Khamr itu mungkin saja ada manfaatnya, tapi mudaratnya jauh lebih besar. Mungkin rokok juga seperti itu. Buat saya, merokok mempunyai dampak yang lebih dalam, lebih buruk dan lebih besar dibandingkan dengan minuman keras. Buktinya, saya jauh lebih mudah berhenti “mabuk” daripada berhenti merokok. Seumpamanya saja Al-Qur’an tidak secara tegas memberikan larangan khamr, mungkin segala macam minuman keras beredar di masyarakat kita tanpa “label haram”. Kemudian industri minuman keras ini berkembang pesat, sehingga cukup menguasai hajat hidup orang banyak, seperti rokok pada saat ini. Lalu ada orang yang mengeluhkan tentang buruknya dampak minuman keras. Baru kemudian MUI membahas manfaat dan mudaratnya. MUI akan kesulitan mengeluarkan fatwa haram itu, atau paling tidak terhambat, karena masalah sosial dan ekonomi tadi. Bisa jadi minuman keras itu batal jadi haram. Jadi, bagaimana kalau seandainya MUI lebih aktif meneliti setiap barang dan hal, terutama yang jelas memberi dampak tertentu pada masyarakat secara luas, untuk bisa segera mengetahui status halal-haramnya, tanpa menunggu ada keluhan? Atau kalau perlu segera setelah barang itu dikenal dan masuk ke negara tercinta ini, sebelum sempat beredar luas. Jadi setiap komoditi yang beredar sudah jelas halalnya. Mungkin MUI bisa membentuk sebuah lembaga khusus untuk ini, atau bekerja sama dengan badan atau departemen negara, seperti BPOM, Departemen Perdagangan, DEPKOMINFO, DEPDAGRI, DEPTAN, Kejaksaan dan sebagainya. Sekali lagi mari kita dukung dan berdoa untuk kesuksesan MUI ini. Kita bisa ikut andil dengan banyak hal, ikut kampanye anti rokok, menyadarkan tentang bahaya merokok. Bagi para perokok, termasuk saya yang mengaku pecinta alam tapi perokok ini, bisa juga membantu dengan berusaha berhenti merokok. Saya tahu itu berat......

Selasa, 09 September 2008

Miracle (Sajian Laris Bulan Ramadhan)

Seorang ibu tua sedang duduk melamun di beranda rumahnya.Kerudung lusuhnya seakan mewakili suasana hatinya. Ia sedang merindu. Mendamba.

Di tengah ketenangan lamunannya itu, seorang lelaki muda, tiga puluhan bertubuh subur, memasuki rumah.

"Assalamu'alaikum.."

"Wa alaikumus salam. Baru datang, Ri? Bagaimana dagangan hari ini?"

Juri, anaknya yang pedagang bakso itu, duduk dikursi sebelahnya. "Alhamdulillah, Mak. Lumayan.Insya Allah masih ada sisa, setelah dikurangi untuk kebutuhan rumah, terus untuk beli bahan-bahan buat besok. Masih ada empat puluh ribu masuk tabungan." Juri, mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan dari kantung bajunya, mengambil beberapa lembar dan menyerahkannya kepada Emak.

"Ini, Mak simpan. Mudah-mudahan bisa lebih cepet tabungannya ngumpul ya, Mak. Biar Mak bisa cepet berangkat hajinya."

"Kira-kira kapan ya, gue bisa bener-bener haji. Sudah pingiii..n banget. Mumpung masih ada umur. Emak kan sudah tua, Ri."

"Ya, doakan saja lah, Mak. Juri juga usaha terus. Emak bantu doa saja. Insya Allah kalau memang rejeki nggak bakal kemana kok, Mak. Juri mandi dulu ya, Mak"

Juri masuk ke dalam rumah dan menemui istrinya yang masih sibuk di dapur. Juri mencium kening istrinya dan menyerahkan beberapa lembar uang belanja harian. Ia kemudian menyempatkan diri membantu istrinya yang sedang menyiapkan takjil dan hidangan makan malam, sebelum akhirnya berangkat mandi.

*

Tubuh suburnya berguncang-guncang hebat mengikuti irama lontaran-lontaran kakinya. Ia bergegas menuju rumah, meninggalkan gerobak baksonya yang ia titipkan di Pos Kamling. Dengan tergopoh-gopoh ia mencari Emak dan istrinya, yang sedang sibuk di belakang, mencuci piring dan menyiapkan sayuran.

"Alhamdulillah, alhamdulillah. Mak. Mak. Insya Allah Emak bisa naik haji tahun depan. Bukan cuma Emak. Juri sama Entin juga bisa ikut berangkat, Mak."

"Astaghfirullah, Ri. Istighfar. Tenang dulu. Minum air putih sini...."

"Yeee..., Juri kan lagi puasa, Mak."

"Eh, iya. Itu... kamu kenapa? Kok lari-larian ke rumah. Pake bilang bisa naik haji tahun depan segala. "

"Bener, Mak. Alhamdulillah. Juri menang Undian Sabun, Mak. Beneran nih, kuponnya masih ada. Untung Juri simpen terus, nggak sampai kebuang. Tahu berapa hadiahnya, Mak? 1 Trilyun, Mak. Kita bisa naik haji barengan, kalau perlu orang satu kampung yang belum haji mau Juri ajak juga."

Emak merasa lututnya lemas. Ia kemudian berlutut dan bersujud syukur, diikuti oleh Juri dan Entin.

*

Begitulah, singkat cerita Juri sekeluarga naik haji di tahun berikutnya, dan mengajak tak kurang dari empat puluh lima orang tak mampu di kampungnya. Uang berlimpah, yang jelas banyak tak habis untuk biaya haji itu, digunakannya untuk mengembangkan baksonya. Tak lama, hanya sekitar setahun ia sudah mempunyai waralaba bakso dengan omzet 50 trilyun sebulan. Selanjutnya ia dikenal orang dengan sebutan Saudagar Haji Bakso Sabun.

*

Itu adalah sebuah cerita yang mirip dengan ditayangkan di televisi beberapa Ramadhan yang lalu, dan diulangi lagi Ramadhan lalu dan sekarang, juga di bahas di beberapa literatur (maksudnya ceramah-ceramah Ramadhan).

Begitulah. Segala konsumsi rohani kita, yang berupa tontonan, bacaan, ceramah-ceramah dan sebagainya, semakin meyakinkan kita dengan keajaiban. Kita menjadi bukan sekedar mempercayai keajaiban, sesuatu yang memang ada, yang terkadang menunjukkan kemahakuasaan Tuhan ke hadapan kita. Tapi kita menjadi semakin mengharapkan keajaiban. Akankah kita terus berangan-angan?

Selasa, 02 September 2008

Euforia Ramadhan

Hari pertama Ramadhan dan beberapa hari sebelumnya menjadi hari-hari istimewa yang biasa, mirip dengan suasana pada waktu yang sama tahun-tahun sebelumnya. Setiap bulan Ramadhan datang, kaum muslimin, selalu mengumandangkan “Marhaban, Ya Ramadhan”. Selamat datang Ramadhan. Ramadhan memang tamu yang senantiasa dinanti. Beberapa SMS yang kuterima selama beberapa hari menjelang Ramadhan lagi kuterima, berkaitan dengan sambutan datangnya Ramadhan ini. Untuk teman-teman yang mengirimiku SMS-SMS itu, aku mohon maaf kalau aku tidak membalas yang sepantasnya, dan tidak semuanya kubalas. Sebab aku bingung bagaimana menjawab SMS semacam itu. Pesan-pesan singkat yang agak panjang itu, berisi sambutan kedatangan Ramadhan, doa-doa dan permohonan maaf. Agak membingungkan buatku. Mungkin ini mirip seperti jika aku menunggu seorang teman bernama Melanie Putria, yang kemudian benar-benar datang padaku, kemudian aku mengirimkan SMS kepada Asti Ananta yang isinya, “Selamat datang, Melanie Putria. Mohon maaf atas semua kesalahanku di masa lalu ya...” Bingung, ‘kan? Yang ditunggu dan datang adalah Melanie Putria, kenapa SMSnya ke Asti Ananta? Terus, bagaimana dengan Maria Sharapova? Mungkin akan sangat sulit kalau kita melacak darimana kebiasaan ini datang. Yang paling mudah, dan paling baik kita lakukan adalah mencermati kembali setiap kebiasaan keberagamaan kita dengan mengacu pada anjuran dan contoh-contoh yang diberikan oleh Rasullullah saw dan para sahabatnya. Termasuk buatku sendiri, kita semua perlu tahu apa yang dilakukan Rasullullah dan para sahabat untuk menyambut Ramadhan. Siapa mau memberitahu? Pada masa Rasullullah, jelas tidak ada saling berkirim SMS, apalagi kuis Ramadhan seperti di tv, sebab handphone masih teramat mahal dan belum diproduksi. Tapi, sejauh yang pernah aku pelajari (maaf, ini jelas tidak bisa jadi acuan, sebab aku memang kurang belajar), Rasullullah dan para sahabat menyambut Ramadhan dengan tindakan, semuanya difokuskan untuk mempersiapkan diri menjalani ibadah di bulan Ramadhan dan memakmurkan masjid. (Aku belum pernah mendengar atau membaca hadits atau riwayat yang mengisahkan Rasullullah dan para sahabat saling menyapa dengan “Marhaban ya Ramadhan” menjelang bulan Ramadhan. Kalaupun mungkin ada, kita perlu memahami konteks bahasa yang berlaku di Arab pada masa itu, sebab dalam bahasa Indonesia, ungkapan itu jelas bukan salam sapaan dengan sesama kerabat dan teman-teman, tapi terhadap bulan Ramadhan yang menjelang.) Jadi bagaimana seharusnya yang kita lakukan untuk menyambut Ramadhan? Tanyakan pada orang yang mengerti. Aku tidak termasuk orang yang mengerti, sebab aku juga sedang belajar. Selama ini aku hanya berusaha konsisten dengan apa yang sudah aku pelajari. Menjelang Ramadhan, ada kebiasaan yang aku lakukan sejak masa kuliah dulu. Menghapus file-file gambar playmates (setelah lebaran hampir pasti cari lagi), dan sebisa mungkin mencari informasi akurat tentang amalan apa yang seharusnya dilakukan selama Ramadhan, juga mencoba memahami arti Ramadhan itu sendiri. Istilah kerennya, mencoba untuk memahami masa yang sudah lewat, berusaha menjadi baik, memperbaiki ibadah dan sejenisnya. Istilah agamanya, muhasabah. Jadi, kita berupaya lebih mengenal agama kita, lebih dalam masuk ke dalam masjid kita, menguatkan hati kita dan mencoba meremehkan segala yang berpotensi mengurangi pahala atau membatalkan puasa kita. Sebagian orang mencoba mengurangi potensi godaan ini dengan melakukan berbagai sweeping. Penyapuan ini dilakukan untuk berbagia tempat “maksiat” dan ada juga untuk warung makan yang buka di siang hari. Aku ingin memberi beberapa usul untuk para sweeper ini. Untuk tempat-tempat hiburan malam, lokasi pelacuran, karaoke ++, pijat ++ dan segala maksiat yang lain, sweeping mohon dilakukan tidak hanya tiap hampir Ramadhan, tapi frekuensinya dipersering. Untuk warung makan yang buka siang hari, mbok ya jangan disweeping. Syariat puasa adalah tidak makan, minum dan berjima’ (untuk pasutri, kalau bukan pasutri, berjima’ ya ga ada urusan sama puasa, tetep haram) dari subuh hingga terbenamnya matahari. Sama sekali tidak ada larangan untuk berdagang. Lagipula, di bulan Ramadhan pun, masih banyak yang membutuhkan warung makan di siang hari. Tidak semua orang itu muslim yang wajib berpuasa, dan tidak semua muslim wajib berpuasa. Banyak teman-teman kita non-muslim, perempuan hamil dan menyusui, wanita haid, dan lain-lain yang tidak wajib berpuasa Ramadhan, bahkan sebagian dianjurkan untuk tidak berpuasa. Teman-temanku perantau di Jogja dulu, yang tidak berpuasa, kalau Ramadhan terpaksa ikut menanggung derita tidak makan siang, karena tidak ada warung. Untung saja kemudian ada beberapa warung makan yang berbaik hati, buka di siang hari, hingga walaupun agak langka, teman-teman itu masih bisa makan. Wahai, teman-teman sweeper warung makan, apakah anda sendiri yang takut tidak kuat menahan godaan lapar? Ada kebiasaan lain yang muncul di masa-masa menjelang Ramadhan dan terutama nanti saat Lebaran. Kalimat yang juga banyak muncul di SMS yang kuterima adalah “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Ini sudah menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat kita. Apakah Rasul mengajarkan ini? Setahuku, tidak. Apakah ini hanya euforia semata? Budaya atau agama? Bisa jadi ini dianggap sebagai salah satu langkah muhasabah, untuk mencuci bersih segala kotoran sebelum memasuki bulan Ramadhan. Saling meminta maaf memang tidak salah, malah baik. Tapi seingat saya, kita dianjurkan meminta maaf dengan tulus tiap kali berbuat salah. Bukan membiasakan diri menunggu Ramadhan atau Syawal. Saling minta maaf memang baik, dan kebiasaan saling minta maaf ini nyaris tanpa efek buruk. Nyaris? Seorang kawan pernah berkata, “Sebenarnya aku nggak enak sih udah jahar sama si anu. Tapi minta maafnya nanti saja, pas Lebaran. Kan udah biasa. Biar nggak malu gitu lho.” Jadi kita termasuk yang mana? Budaya atau agama? Kayaknya nggak nyambung, ya? Euforia Ramadhan memang mempengaruhi hampir kita semua. Termasuk aku. Buktinya, aku membuat tulisan ini. Jadi, biar tidak terlalu salah sasaran, marilah kita bersama-sama menatap cakrawala, langit, jam dinding, dan segala yang menunjukkan waktu, dan berujar, “Marhaban, woooiii.... Ramadhan.” Lebih nggak nyambung, ya?

Post category