Seorang ibu tua sedang duduk melamun di beranda rumahnya.Kerudung lusuhnya seakan mewakili suasana hatinya. Ia sedang merindu. Mendamba.
Di tengah ketenangan lamunannya itu, seorang lelaki muda, tiga puluhan bertubuh subur, memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum.."
"Wa alaikumus salam. Baru datang, Ri? Bagaimana dagangan hari ini?"
Juri, anaknya yang pedagang bakso itu, duduk dikursi sebelahnya. "Alhamdulillah, Mak. Lumayan.Insya Allah masih ada sisa, setelah dikurangi untuk kebutuhan rumah, terus untuk beli bahan-bahan buat besok. Masih ada empat puluh ribu masuk tabungan." Juri, mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan dari kantung bajunya, mengambil beberapa lembar dan menyerahkannya kepada Emak.
"Ini, Mak simpan. Mudah-mudahan bisa lebih cepet tabungannya ngumpul ya, Mak. Biar Mak bisa cepet berangkat hajinya."
"Kira-kira kapan ya, gue bisa bener-bener haji. Sudah pingiii..n banget. Mumpung masih ada umur. Emak kan sudah tua, Ri."
"Ya, doakan saja lah, Mak. Juri juga usaha terus. Emak bantu doa saja. Insya Allah kalau memang rejeki nggak bakal kemana kok, Mak. Juri mandi dulu ya, Mak"
Juri masuk ke dalam rumah dan menemui istrinya yang masih sibuk di dapur. Juri mencium kening istrinya dan menyerahkan beberapa lembar uang belanja harian. Ia kemudian menyempatkan diri membantu istrinya yang sedang menyiapkan takjil dan hidangan makan malam, sebelum akhirnya berangkat mandi.
*
Tubuh suburnya berguncang-guncang hebat mengikuti irama lontaran-lontaran kakinya. Ia bergegas menuju rumah, meninggalkan gerobak baksonya yang ia titipkan di Pos Kamling. Dengan tergopoh-gopoh ia mencari Emak dan istrinya, yang sedang sibuk di belakang, mencuci piring dan menyiapkan sayuran.
"Alhamdulillah, alhamdulillah. Mak. Mak. Insya Allah Emak bisa naik haji tahun depan. Bukan cuma Emak. Juri sama Entin juga bisa ikut berangkat, Mak."
"Astaghfirullah, Ri. Istighfar. Tenang dulu. Minum air putih sini...."
"Yeee..., Juri kan lagi puasa, Mak."
"Eh, iya. Itu... kamu kenapa? Kok lari-larian ke rumah. Pake bilang bisa naik haji tahun depan segala. "
"Bener, Mak. Alhamdulillah. Juri menang Undian Sabun, Mak. Beneran nih, kuponnya masih ada. Untung Juri simpen terus, nggak sampai kebuang. Tahu berapa hadiahnya, Mak? 1 Trilyun, Mak. Kita bisa naik haji barengan, kalau perlu orang satu kampung yang belum haji mau Juri ajak juga."
Emak merasa lututnya lemas. Ia kemudian berlutut dan bersujud syukur, diikuti oleh Juri dan Entin.
*
Begitulah, singkat cerita Juri sekeluarga naik haji di tahun berikutnya, dan mengajak tak kurang dari empat puluh lima orang tak mampu di kampungnya. Uang berlimpah, yang jelas banyak tak habis untuk biaya haji itu, digunakannya untuk mengembangkan baksonya. Tak lama, hanya sekitar setahun ia sudah mempunyai waralaba bakso dengan omzet 50 trilyun sebulan. Selanjutnya ia dikenal orang dengan sebutan Saudagar Haji Bakso Sabun.
*
Itu adalah sebuah cerita yang mirip dengan ditayangkan di televisi beberapa Ramadhan yang lalu, dan diulangi lagi Ramadhan lalu dan sekarang, juga di bahas di beberapa literatur (maksudnya ceramah-ceramah Ramadhan).
Begitulah. Segala konsumsi rohani kita, yang berupa tontonan, bacaan, ceramah-ceramah dan sebagainya, semakin meyakinkan kita dengan keajaiban. Kita menjadi bukan sekedar mempercayai keajaiban, sesuatu yang memang ada, yang terkadang menunjukkan kemahakuasaan Tuhan ke hadapan kita. Tapi kita menjadi semakin mengharapkan keajaiban. Akankah kita terus berangan-angan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar