Hari pertama Ramadhan dan beberapa hari sebelumnya menjadi hari-hari istimewa yang biasa, mirip dengan suasana pada waktu yang sama tahun-tahun sebelumnya.
Setiap bulan Ramadhan datang, kaum muslimin, selalu mengumandangkan “Marhaban, Ya Ramadhan”. Selamat datang Ramadhan. Ramadhan memang tamu yang senantiasa dinanti. Beberapa SMS yang kuterima selama beberapa hari menjelang Ramadhan lagi kuterima, berkaitan dengan sambutan datangnya Ramadhan ini. Untuk teman-teman yang mengirimiku SMS-SMS itu, aku mohon maaf kalau aku tidak membalas yang sepantasnya, dan tidak semuanya kubalas. Sebab aku bingung bagaimana menjawab SMS semacam itu.
Pesan-pesan singkat yang agak panjang itu, berisi sambutan kedatangan Ramadhan, doa-doa dan permohonan maaf. Agak membingungkan buatku. Mungkin ini mirip seperti jika aku menunggu seorang teman bernama Melanie Putria, yang kemudian benar-benar datang padaku, kemudian aku mengirimkan SMS kepada Asti Ananta yang isinya, “Selamat datang, Melanie Putria. Mohon maaf atas semua kesalahanku di masa lalu ya...” Bingung, ‘kan? Yang ditunggu dan datang adalah Melanie Putria, kenapa SMSnya ke Asti Ananta? Terus, bagaimana dengan Maria Sharapova?
Mungkin akan sangat sulit kalau kita melacak darimana kebiasaan ini datang. Yang paling mudah, dan paling baik kita lakukan adalah mencermati kembali setiap kebiasaan keberagamaan kita dengan mengacu pada anjuran dan contoh-contoh yang diberikan oleh Rasullullah saw dan para sahabatnya. Termasuk buatku sendiri, kita semua perlu tahu apa yang dilakukan Rasullullah dan para sahabat untuk menyambut Ramadhan. Siapa mau memberitahu?
Pada masa Rasullullah, jelas tidak ada saling berkirim SMS, apalagi kuis Ramadhan seperti di tv, sebab handphone masih teramat mahal dan belum diproduksi. Tapi, sejauh yang pernah aku pelajari (maaf, ini jelas tidak bisa jadi acuan, sebab aku memang kurang belajar), Rasullullah dan para sahabat menyambut Ramadhan dengan tindakan, semuanya difokuskan untuk mempersiapkan diri menjalani ibadah di bulan Ramadhan dan memakmurkan masjid. (Aku belum pernah mendengar atau membaca hadits atau riwayat yang mengisahkan Rasullullah dan para sahabat saling menyapa dengan “Marhaban ya Ramadhan” menjelang bulan Ramadhan. Kalaupun mungkin ada, kita perlu memahami konteks bahasa yang berlaku di Arab pada masa itu, sebab dalam bahasa Indonesia, ungkapan itu jelas bukan salam sapaan dengan sesama kerabat dan teman-teman, tapi terhadap bulan Ramadhan yang menjelang.)
Jadi bagaimana seharusnya yang kita lakukan untuk menyambut Ramadhan? Tanyakan pada orang yang mengerti. Aku tidak termasuk orang yang mengerti, sebab aku juga sedang belajar. Selama ini aku hanya berusaha konsisten dengan apa yang sudah aku pelajari. Menjelang Ramadhan, ada kebiasaan yang aku lakukan sejak masa kuliah dulu. Menghapus file-file gambar playmates (setelah lebaran hampir pasti cari lagi), dan sebisa mungkin mencari informasi akurat tentang amalan apa yang seharusnya dilakukan selama Ramadhan, juga mencoba memahami arti Ramadhan itu sendiri. Istilah kerennya, mencoba untuk memahami masa yang sudah lewat, berusaha menjadi baik, memperbaiki ibadah dan sejenisnya. Istilah agamanya, muhasabah.
Jadi, kita berupaya lebih mengenal agama kita, lebih dalam masuk ke dalam masjid kita, menguatkan hati kita dan mencoba meremehkan segala yang berpotensi mengurangi pahala atau membatalkan puasa kita. Sebagian orang mencoba mengurangi potensi godaan ini dengan melakukan berbagai sweeping. Penyapuan ini dilakukan untuk berbagia tempat “maksiat” dan ada juga untuk warung makan yang buka di siang hari. Aku ingin memberi beberapa usul untuk para sweeper ini. Untuk tempat-tempat hiburan malam, lokasi pelacuran, karaoke ++, pijat ++ dan segala maksiat yang lain, sweeping mohon dilakukan tidak hanya tiap hampir Ramadhan, tapi frekuensinya dipersering. Untuk warung makan yang buka siang hari, mbok ya jangan disweeping. Syariat puasa adalah tidak makan, minum dan berjima’ (untuk pasutri, kalau bukan pasutri, berjima’ ya ga ada urusan sama puasa, tetep haram) dari subuh hingga terbenamnya matahari. Sama sekali tidak ada larangan untuk berdagang. Lagipula, di bulan Ramadhan pun, masih banyak yang membutuhkan warung makan di siang hari.
Tidak semua orang itu muslim yang wajib berpuasa, dan tidak semua muslim wajib berpuasa. Banyak teman-teman kita non-muslim, perempuan hamil dan menyusui, wanita haid, dan lain-lain yang tidak wajib berpuasa Ramadhan, bahkan sebagian dianjurkan untuk tidak berpuasa. Teman-temanku perantau di Jogja dulu, yang tidak berpuasa, kalau Ramadhan terpaksa ikut menanggung derita tidak makan siang, karena tidak ada warung. Untung saja kemudian ada beberapa warung makan yang berbaik hati, buka di siang hari, hingga walaupun agak langka, teman-teman itu masih bisa makan. Wahai, teman-teman sweeper warung makan, apakah anda sendiri yang takut tidak kuat menahan godaan lapar?
Ada kebiasaan lain yang muncul di masa-masa menjelang Ramadhan dan terutama nanti saat Lebaran. Kalimat yang juga banyak muncul di SMS yang kuterima adalah “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Ini sudah menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat kita. Apakah Rasul mengajarkan ini? Setahuku, tidak. Apakah ini hanya euforia semata? Budaya atau agama? Bisa jadi ini dianggap sebagai salah satu langkah muhasabah, untuk mencuci bersih segala kotoran sebelum memasuki bulan Ramadhan. Saling meminta maaf memang tidak salah, malah baik. Tapi seingat saya, kita dianjurkan meminta maaf dengan tulus tiap kali berbuat salah. Bukan membiasakan diri menunggu Ramadhan atau Syawal. Saling minta maaf memang baik, dan kebiasaan saling minta maaf ini nyaris tanpa efek buruk. Nyaris? Seorang kawan pernah berkata, “Sebenarnya aku nggak enak sih udah jahar sama si anu. Tapi minta maafnya nanti saja, pas Lebaran. Kan udah biasa. Biar nggak malu gitu lho.” Jadi kita termasuk yang mana? Budaya atau agama? Kayaknya nggak nyambung, ya?
Euforia Ramadhan memang mempengaruhi hampir kita semua. Termasuk aku. Buktinya, aku membuat tulisan ini. Jadi, biar tidak terlalu salah sasaran, marilah kita bersama-sama menatap cakrawala, langit, jam dinding, dan segala yang menunjukkan waktu, dan berujar, “Marhaban, woooiii.... Ramadhan.”
Lebih nggak nyambung, ya?
Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.
Selasa, 02 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar