Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.

Kamis, 21 Agustus 2008

Wisata

Wisata adalah salah satu kegiatan yang mampu menjadi sarana memenuhi rasa keingintahuan dan kebutuhan untuk senang-senang. Untuk saat ini, rasa ingin tahu inilah yang sepertinya lebih diutamakan. Demi rasa ingin tahu ini juga--juga kesenangan--orang-orang semakin kreatif menciptakan obyek wisata. Waktu terjadi gempa di Jogja-Jateng, saya diajak teman-teman mengunjungi salah satu lokasi korban gempa. Ternyata di sana sudah banyak pengunjung di sana. Tujuan mereka jelas, memberikan bantuan kepada para korban. Hanya saja, banyak rombongan yang 2 bus membawa bantuan yang satu bus. Orangnya lebih banyak. Di perjalanan, aku sempat melihat sekelompok ibu-ibu dengan penampilan mencolok, , berbaju trening yang biasa dipakai senam, bertopi golf, berkacamata hitam melihat berkeliling, berbincang, menunjuk-nunjuk, dan sesekali tertawa. Seperti sekelompok ibu-ibu arisan yang biasanya berkata "Begini, lho, Jeng". Ada juga kelompok bapak-bapak, muda-mudi, dan ada juga yang sendiri-sendiri yang berseliweran di daerah yang sedang dipenuhi reruntuhan bangunan itu. Sayangnya, rombongan-rombongan ini hampir selalu menyebabkan kemacetan, yang tentu saja menghambat laju bantuan. Bagaiman dengan para korban? Aku yakin mereka bersyukur dikunjungi, dan dibantu. Tapi, keadaan yang hiruk pikuk kacau balau itu mungkin yang menyebabkan muncul beberapa papan dan spanduk dengan tulisan yang agak kurang enak dibaca. "Kami butuh dibantu, bukan difoto" atau "Ini daerah bencana, bukan tempat wisata". Arus bantuan dan pelancong tetap berdatangan. Mulai ada "wisata bencana". * Ada suatu saat, Kota Batu dihebohkan dengan terhantamnya Dr Azahari, salah satu gembong teroris paling dicari, oleh bom, dan tewas. Media massa ramai membicarakannya. Yang menarik, tak lama sesudah kejadian itu, muncul banyak hal baru yang tidak biasa di sekitar lokasi kejadian. Yang paling banyak adalah papan-papan penunjuk jalan dan penanda lokasi, reruntuhan rumah tempat Azahari mati. Untuk apa tanda-tanda itu dipasang? Apakah aparat kebingungan mencati lokasinya? jelas tidak mungkin. Tanda-tanda itu adalah untuk para pengunjung, wisatawan yang ingin menyaksikan lokasi ledakan yang sekarang menjadi situs reruntuhan bangunan yang penuh dengan reruntuhan, selongsong peluru dan sisa bom. Entah sensasi apa yang didapat para pengunjung itu. Tapi yang pasti, telah terbit paket baru dalam industri pariwisata, "wisata teroris". * Beberapa hari ini di televisi, berita yang sedang hot adalah tentang Ryan si Jagal Jombang. Tersangka mutilasi dan pembunuhan berantai yang kabarnya mencoreng nama baik Korps Gay Indonesia. Setiap hari, siaran berita, bahkan infotainment, membahas berita ini. lagi-lagi ada fenomena menarik, berupa kerumunan orang di sekitar lokasi penggalian mayat. Di lokasi dan jalan-jalan menuju lokasi sudah banyak tanda-tanda penunjuk jalan menuju lokasi. "Lokasi pembunuhan Ryan". Mungkin sudah ada juga penjual makanan dan minuman keliling yang tidak tersorot kamera. Atau juga Komidi Putar. pada suatu penayangan berita, seorang berasal dari Jepara diwawancarai, mengatakan kalau ia baru pertama kalinya datang ke Jombang. Dan itu adalah untuk melihat situs lubang-lubang kuburan. Karena kejadian itu, si empunya rumah berniat menjualnya. Tapi karena reputasinya yang terlanjur seperti itu, tentu saja sulit laku. Akhirnya ada seorang pengusaha dan ulama yang mau membeli dan berniat menjadikannya sebagai pondok pesantren dan situs wisata. Wisata? Ya, wisata kriminal, genre terbaru dalam industri pariwisata kita. * Kita bisa melihat, kebutuhan akan pelancongan dan keingintahuan, telah memunculkan kreatifitas orang-orang, terutama yang tertarik pada industri pariwisata. Ide-ide semacam itu akan selalu bermunculan, mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi, mengikuti kebutuhan-kebutuhan yang selalu tercipta, sekalipun itu berkaitan dengan sesuatu yang ganjil, absurd, dan/atau mengerikan. Kita sudah punya bermacam wisata, wisata pendidikan, sejarah, alam, kriminal, bencana, teror, dan sebagainya. Kita bisa menunggu munculnya wisata konflik, wisata krisis, wisata takdir buruk dan sebagainya. Selamat menunggu.....

Senin, 18 Agustus 2008

Percepatan Pendewasaan (Sinetron 2)

Berita-berita yang ditayangkan di televisi menunjukkan betapa zaman terus berubah, semakin cepat. Mungkin ini akibat lingkaran timbal balik manusia dan sistem yang dibuatnya. Orang membuat sistem, sistem mempengaruhi orang, dst. Percepatan itu didukung oleh adanya peristiwa-peristiwa yang memberi pengaruh besar. Demokrasi, globalisasi, informasi dan si-si yang lain, memudahkan orang-orang untuk saling menilai, meniru, berubah. Dan itu ternyata membawa pengaruh yang luar biasa pada kepribadian dan pendewasaan. Sepertinya di masa lalu, aksi-aksi--terutama yang melibatkan massa, demonstrasi, kegiatan politik--menjadi dominasi para aktifis dan mahasiswa. Kemudian diikuti dengan demonstrasi murid-murid SMU yang mempertanyakan kebijakan pendidikan. Waktu berlalu, para ABA (Anak Baru ABG) yang duduk di bangku SMP berdemonstrasi memprotes kebijakan biaya sekolah dan penggunaan dana BOS. Semakin hari makin banyak anak SD yang berdemo karena merasa tidak nyaman bersekolah, sekolahnya disegel, atau sekedar dijewer kepala sekolahnya. Inilah keistimewaan perkembangan zaman, sepertinya setiap orang makin tahu hak-haknya dan makin berani memperjuangkannya. Pertentangan biasanya muncul dari "golongan tua" yang merasa dikurangajari. Orang-orang yang merasa lebh berpengalaman ini merasa yakin "golongan muda" sedang melesat menuju kerusakannya sendiri. Mungkin ini benar. Protes-protes itu, dari kedua golongan, biasanya ditunggangi kepentingan karena merasa teraniaya hak-haknya. Semua orang menuntut hak, bagaimana dengan kewajiban? Media massa bisa menjadi salah satu sarana yang menjembatani kepentingan-kepentingan ini. Sepertinya media kita sangat fokus pada upaya-upaya pendidikan dan percepatan pendewasaan. Sinetron, sebagai salah satu tontonan yang paling banyak ditonton, menyajikan tema-tema yang sama untuk level umur yang makin lama makin turun. Dulu, cerita cinta ditampilkan dengan tokoh-rokoh orang dewasa, pekerja, eksekutif, pembantu dan sebagainya. Kemudian para "Romi dan Yuli" ini berubah menjadi orang-orang berseragam SMU. Sinetron itu berlatar sebuah sekolah, tapi hampir tak ada kegiatan sekolah, belajar, atau yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar. Temanya masih berkutat di pacaran, rebutan pacar, dan persaingan dalam pesta dansa. (Apa untuk pacaran saja, butuh seragam?) Kemudian seragam itu berubah menjadi seragam biru putih SMP, dan makin turun menjadi anak SD yang berpacaran. Bahkan yang terakhir, ada anak-anak balita yang masih didorong dalam kereta bayi pacaran juga, pake baju pengantin pula. Mungkin di masa depan ada anak yang baru lahir langsung mimpi basah, begitu melek, sudah bisa berpikir, "Ngeceng di mana, nih?". Ada pula yang begitu bisa membaca "ini Budi" sudah berpikir untuk terjun ke dunia politik atau yang baru bisa berhitung 1-2-3 sudah memikirkan "Jualan apa, nih?". Anak-anak Indonesia menjadi peniru yang luar biasa. Sinetron itu yang jadi panutan. Kita semua dipaksa sadar kalau keadaan di luar sana berubah teramat cepat. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap dengan segala perubahan itu, apa kita siap berubah? Kebanyakan dari kita ingin mengikuti perkembangan, mengikuti perubahan, berubah. Setiap orang ingin lebih makmur, pintar, sukses, kaya dan mengalami segala 'pemuasan'. Tapi masih banyak juga yang tidak siap dengan perubahan. Ada orang ingin kaya, tiba-tiba kaya, malah bingung, shock, stress, dan terlena. Ada yang merasa telah mendapatkan ilmu, merasa sangat hebat dan memasang kacamata kuda, tak sanggup melihat sekitar, dan tidak tahu mau apa dengan kepandaiannya itu. Ada yang baru mengalami mimpi basah, langsung berpikir mencari "sarung keris". Sepertinya, masih dalam momen ulang tahun kemerdekaan ini, ada satu ungkapan yang harus selalu kita dengungkan di pikiran kita. "SIAP, GRAKKK...!!"

Rabu, 13 Agustus 2008

Twister, Behind the Scene

Musim bencana di Indonesia semakin variatif dan kreatif. Beberapa hari yang lalu terjadi kejadian alam yang lagi-lagi bikin panik, angin puting beliung. Kejadian yang di Jogja, pas kebetulan aku ga di sana, keliatan ngeri juga di tipi. Atap stasiun jadi kayak bajunya Komeng pas habis naik Jupiter. Itun-itungan lagi dah. Tapi sepertinya kita tidak perlu membahas terlalu banyak tentang beberapa kejadian ini. Sudah banyak media kita yang cukup responsif dan kagetan, yang dengan segera akan membahasnya, mulai dari proses kejadian secara ilmiah, total kerugian, sikap pemda, dan masih banyak lagi tinjauan secara ipoleksosbudhankam. Lagipula, pembicaraan yang berlebihan mungkin berakibat buruk secara psikologis buat yang mengalami. Sebagian dari mereka mungkin akan menjadi terlalu manja, merasa diperhatikan, bahkan sebagian akan merasa bahwa momen bencana adalah kesempatan untuk dapat bantuan. Sebagian dari sodara-sodara yang membantu memang benar-benar ikhlas dan tidak mempermasalahkan itu. Ada satu hikmah besar yang ada dibalik kejadian angin berputar itu, palling tidak menurut saya. Kenapa angin berputar itu sampai sekarang disebut dengan "puting beliung" atau dalam bahasa kerennhya "axe nipple wind". Padahal setahu saya, beliung itu ngga ada putingnya, yang ada putingnya itu kan mammalia, (bukan mama lia, lho... ;p). Setahuku tuh, ini jenis hewan yang ada (.)(.) nya.Mungkin orang yang menamai seperti itu, pada saat pertama kali mengalami pusaran angin, dia berteriak, "aduh, puting, kayak dilempar beliung. Orang ini berteriak begitu sebenarnya bukan karena terlalu panik, tapi karena dia memang baru bisa baca-tulis. Dia belum begitu hafal dengan urutan abjad a-z. Jadi, waktu dia mengeja, huruf yang seharusnya "s" itu meleset satu huruf di urutan abjad sesudahnya. Tapi memang mungkin masyarakat kita belum terlalu pandai dan masih latah, kesalahan itu masih terjadi sampai sekarang. Jadi ini hikmah yang mungkin bisa kita ambil, mari kita sukseskan semua usaha untuk pemberantasan BADAN (buta aksara danKita angka). Kita berharap agar kita tidak asal memberi nama sesuatu dengan nama yang terlalu lucu, atau bahkan saru. Terlebih lagi di jaman yang serba nanotechnology ini, yang mungkin berkembang menjadi piccotechnology nantinya, kita tidak serba ketinggalan, tidak bingung lagi. Kalo nanti warung-warung seafood di Jepang sudah mampu membuat nasi goreng plankton, kita juga sudah bisa membuat semur sellulosa atau soto amoeba. Atau minimal kita ngga panik lagi kalo dikejar angin puting gergaji, serem mana coba gergaji sama beliung.Semoga sedikit hipotesis sederhana ini dapat ditelaah dan ditindaklanjut oleh departemen-departemen yang berwenang, demi kemajuan kita bersama, sampai ajal memisahkan kita.... walah opo maneh tho iki, puting aku..

Sinetron

Ada masanya televisi kita dijejali dengan sinetron-sinetron bergenre "Aku Hamil". Sinetron-sinetron genre ini biasanya dimulai dengan cerita seorang gadis yang mendatangi ayah, ibu atau kerabatnya yang lain, kemudian ia berkata "Akyu hamil". Kemudian disusul dengan sedikit adegan-adegan selingan berupa pertengkaran, kemarahan, tangisan berjamaah, pengusiran dan sejenisnya. Selanjutnya cerita pun dimulai. Ada banyak variasi cerita dalam genre ini. Bisa menjadi cerita perjuangan calon ibu mempertahankan kehamilannya-karena tak mau menggugurkan, sendirian karena pejantannya tak mau bertanggung jawab, kemudian menjadi seorang ibu yang mungkin terlalu muda untuk membesarkan anaknya sendiri. Tanpa suami, dibuang keluarga. Kasihan, bukan? Pada akhirnya ibu muda single parent tadi menjadi makmur, kaya entah bagaimana caranya dan berhasil membesarkan anaknya dengan sukses dan lancar. Atau bisa juga ibu muda tadi menemukan seorang pengusaha sukses yang mau menerima ia dan anaknya. Mereka menikah dan bahagia hingga akhir sinetron. Bisa juga cerita tentang si bayi yang berjuang sendiri menjadi besar, karena sang ibu juga ogah bertanggung jawab. Si anak berjuang sendiri memperjuangkan hidupnya yang sendiri, sepi dan keras. Tapi akhirnya ia berjaya juga. Masih banyak variasi ceritanya. Cerita itu bisa berkembang menjadi kisah perseteruan dua orang yang ternyata bersaudara, pembunuhan, incest, dan sebagainya. Tapi yang pasti, kebanyakan cerita itu berakhir bahagia. Genre ini, kebanyakan penggemarnya adalah ibu-ibu. Menurut beliau-beliau itu, selain jalan cerita dan penyajiannya yang menyentuh perasaan, juga mengandung banyak pesan moral. Katanya, cerita-cerita itu banyak mengandung pesan, tentang kesabaran, ketabahan, bahwa Tuhan akan selalu menolong hamba yang menderita dan sabar, dan masih banyak lagi. Menurutku, ada satu pesan terpenting yang disampaikan cerita-cerita itu: 'zina itu tonggak kesuksesan dan kebahagiaan'. Entah apa yang ada dalam kepala orang-orang yang membuat sinetron macam ini. Mungkin kepalanya itu adalah scrotum yang salah posisi tumbuhnya. Mereka berusaha menyampaikan pesan tentang pentingnya tanggung jawab dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab. Kemudian genre lain-menyesuaikan dengan keadaan-mulai muncul, membangkitkan selera pasar, yang diikuti dengan menjamurnya genre yang sama. Begitu seterusnya sehingga muncul banyak genre lain yang mempengaruhi dan terpengaruh pasar. Ada sinetron religi, yang ditandai dengan banyaknya adegan orang sembahyang, mengumbar bahasa Arab, tokoh-tokoh yang berkerudung, berbaju gamis, kemana-mana mengurut untaian tasbih. Kemudian ada sinetron komedi, yang menyajikan apa pun asal penonton tertawa, sinetron berseragam, yang banyak menampilkan ABA (Anak Baru ABG) dan sebagainya. Tapi kalau diamati, variasi tema utama yang disampaikan oleh beragam sinetron itu tidak seberagam genrenya. Tema-tema itu berkisar pada keluarga (perselisihan tak kunjung usai), cinta (a.k. pacaran dan rebutan pacar), seks dan mistis yang membodohkan. Kebanyakan sinetron itu menjadi iklan mimpi. Para pembuatnya benar-benar brilian, telah menembak tepat pada kebutuhan pasar. Kita semua sedang butuh mimpi. Sayangnya, mimpi yang ditawarkan itu adalah mimpi basah di siang bolong di tengah gurun di musim panas. Melemahkan. Para pembuatnya semakin giat dan gencar membuat, karena memang laku. Ibu-ibu, yang menjadi mayoritas penggemar sinetron, adalah punggawa rumah tangga, perdana menteri urusan rumah yang seringkali menentukan "nonton apa kita sekarang?". Maka hampir pasti semua orang ikut menontonnya. Maaf, tidak ada maksud menyalahkan para ibu. Sinetron ada di tv, tv adalah salah satu ikon peradaban. Peradaban terdiri dari manusia dan sistem yang saling mempengaruhi. Orang membuat tv, tv mempengaruhi orang, orang mengembangkan tv, semakin mempengaruhi orang....... dan seterusnya. Lingkaran setan. mengapa setan yang disalahkan? Mungkin tidak ada yang perlu disalahkan, atas kekhilafan dan ketidaksadaran. Bahkan mungkin kita tidak perlu membesarkan dan mempertanyakan apa ada yang salah. Hanya saja, kita mestinya sadar, kalau sebenarnya TERSANJUNG itu cukup satu.

Post category