Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.

Senin, 18 Agustus 2008

Percepatan Pendewasaan (Sinetron 2)

Berita-berita yang ditayangkan di televisi menunjukkan betapa zaman terus berubah, semakin cepat. Mungkin ini akibat lingkaran timbal balik manusia dan sistem yang dibuatnya. Orang membuat sistem, sistem mempengaruhi orang, dst. Percepatan itu didukung oleh adanya peristiwa-peristiwa yang memberi pengaruh besar. Demokrasi, globalisasi, informasi dan si-si yang lain, memudahkan orang-orang untuk saling menilai, meniru, berubah. Dan itu ternyata membawa pengaruh yang luar biasa pada kepribadian dan pendewasaan. Sepertinya di masa lalu, aksi-aksi--terutama yang melibatkan massa, demonstrasi, kegiatan politik--menjadi dominasi para aktifis dan mahasiswa. Kemudian diikuti dengan demonstrasi murid-murid SMU yang mempertanyakan kebijakan pendidikan. Waktu berlalu, para ABA (Anak Baru ABG) yang duduk di bangku SMP berdemonstrasi memprotes kebijakan biaya sekolah dan penggunaan dana BOS. Semakin hari makin banyak anak SD yang berdemo karena merasa tidak nyaman bersekolah, sekolahnya disegel, atau sekedar dijewer kepala sekolahnya. Inilah keistimewaan perkembangan zaman, sepertinya setiap orang makin tahu hak-haknya dan makin berani memperjuangkannya. Pertentangan biasanya muncul dari "golongan tua" yang merasa dikurangajari. Orang-orang yang merasa lebh berpengalaman ini merasa yakin "golongan muda" sedang melesat menuju kerusakannya sendiri. Mungkin ini benar. Protes-protes itu, dari kedua golongan, biasanya ditunggangi kepentingan karena merasa teraniaya hak-haknya. Semua orang menuntut hak, bagaimana dengan kewajiban? Media massa bisa menjadi salah satu sarana yang menjembatani kepentingan-kepentingan ini. Sepertinya media kita sangat fokus pada upaya-upaya pendidikan dan percepatan pendewasaan. Sinetron, sebagai salah satu tontonan yang paling banyak ditonton, menyajikan tema-tema yang sama untuk level umur yang makin lama makin turun. Dulu, cerita cinta ditampilkan dengan tokoh-rokoh orang dewasa, pekerja, eksekutif, pembantu dan sebagainya. Kemudian para "Romi dan Yuli" ini berubah menjadi orang-orang berseragam SMU. Sinetron itu berlatar sebuah sekolah, tapi hampir tak ada kegiatan sekolah, belajar, atau yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar. Temanya masih berkutat di pacaran, rebutan pacar, dan persaingan dalam pesta dansa. (Apa untuk pacaran saja, butuh seragam?) Kemudian seragam itu berubah menjadi seragam biru putih SMP, dan makin turun menjadi anak SD yang berpacaran. Bahkan yang terakhir, ada anak-anak balita yang masih didorong dalam kereta bayi pacaran juga, pake baju pengantin pula. Mungkin di masa depan ada anak yang baru lahir langsung mimpi basah, begitu melek, sudah bisa berpikir, "Ngeceng di mana, nih?". Ada pula yang begitu bisa membaca "ini Budi" sudah berpikir untuk terjun ke dunia politik atau yang baru bisa berhitung 1-2-3 sudah memikirkan "Jualan apa, nih?". Anak-anak Indonesia menjadi peniru yang luar biasa. Sinetron itu yang jadi panutan. Kita semua dipaksa sadar kalau keadaan di luar sana berubah teramat cepat. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap dengan segala perubahan itu, apa kita siap berubah? Kebanyakan dari kita ingin mengikuti perkembangan, mengikuti perubahan, berubah. Setiap orang ingin lebih makmur, pintar, sukses, kaya dan mengalami segala 'pemuasan'. Tapi masih banyak juga yang tidak siap dengan perubahan. Ada orang ingin kaya, tiba-tiba kaya, malah bingung, shock, stress, dan terlena. Ada yang merasa telah mendapatkan ilmu, merasa sangat hebat dan memasang kacamata kuda, tak sanggup melihat sekitar, dan tidak tahu mau apa dengan kepandaiannya itu. Ada yang baru mengalami mimpi basah, langsung berpikir mencari "sarung keris". Sepertinya, masih dalam momen ulang tahun kemerdekaan ini, ada satu ungkapan yang harus selalu kita dengungkan di pikiran kita. "SIAP, GRAKKK...!!"

Tidak ada komentar:

Post category