Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.

Rabu, 13 Agustus 2008

Twister, Behind the Scene

Musim bencana di Indonesia semakin variatif dan kreatif. Beberapa hari yang lalu terjadi kejadian alam yang lagi-lagi bikin panik, angin puting beliung. Kejadian yang di Jogja, pas kebetulan aku ga di sana, keliatan ngeri juga di tipi. Atap stasiun jadi kayak bajunya Komeng pas habis naik Jupiter. Itun-itungan lagi dah. Tapi sepertinya kita tidak perlu membahas terlalu banyak tentang beberapa kejadian ini. Sudah banyak media kita yang cukup responsif dan kagetan, yang dengan segera akan membahasnya, mulai dari proses kejadian secara ilmiah, total kerugian, sikap pemda, dan masih banyak lagi tinjauan secara ipoleksosbudhankam. Lagipula, pembicaraan yang berlebihan mungkin berakibat buruk secara psikologis buat yang mengalami. Sebagian dari mereka mungkin akan menjadi terlalu manja, merasa diperhatikan, bahkan sebagian akan merasa bahwa momen bencana adalah kesempatan untuk dapat bantuan. Sebagian dari sodara-sodara yang membantu memang benar-benar ikhlas dan tidak mempermasalahkan itu. Ada satu hikmah besar yang ada dibalik kejadian angin berputar itu, palling tidak menurut saya. Kenapa angin berputar itu sampai sekarang disebut dengan "puting beliung" atau dalam bahasa kerennhya "axe nipple wind". Padahal setahu saya, beliung itu ngga ada putingnya, yang ada putingnya itu kan mammalia, (bukan mama lia, lho... ;p). Setahuku tuh, ini jenis hewan yang ada (.)(.) nya.Mungkin orang yang menamai seperti itu, pada saat pertama kali mengalami pusaran angin, dia berteriak, "aduh, puting, kayak dilempar beliung. Orang ini berteriak begitu sebenarnya bukan karena terlalu panik, tapi karena dia memang baru bisa baca-tulis. Dia belum begitu hafal dengan urutan abjad a-z. Jadi, waktu dia mengeja, huruf yang seharusnya "s" itu meleset satu huruf di urutan abjad sesudahnya. Tapi memang mungkin masyarakat kita belum terlalu pandai dan masih latah, kesalahan itu masih terjadi sampai sekarang. Jadi ini hikmah yang mungkin bisa kita ambil, mari kita sukseskan semua usaha untuk pemberantasan BADAN (buta aksara danKita angka). Kita berharap agar kita tidak asal memberi nama sesuatu dengan nama yang terlalu lucu, atau bahkan saru. Terlebih lagi di jaman yang serba nanotechnology ini, yang mungkin berkembang menjadi piccotechnology nantinya, kita tidak serba ketinggalan, tidak bingung lagi. Kalo nanti warung-warung seafood di Jepang sudah mampu membuat nasi goreng plankton, kita juga sudah bisa membuat semur sellulosa atau soto amoeba. Atau minimal kita ngga panik lagi kalo dikejar angin puting gergaji, serem mana coba gergaji sama beliung.Semoga sedikit hipotesis sederhana ini dapat ditelaah dan ditindaklanjut oleh departemen-departemen yang berwenang, demi kemajuan kita bersama, sampai ajal memisahkan kita.... walah opo maneh tho iki, puting aku..

Tidak ada komentar:

Post category