Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.

Rabu, 13 Agustus 2008

Sinetron

Ada masanya televisi kita dijejali dengan sinetron-sinetron bergenre "Aku Hamil". Sinetron-sinetron genre ini biasanya dimulai dengan cerita seorang gadis yang mendatangi ayah, ibu atau kerabatnya yang lain, kemudian ia berkata "Akyu hamil". Kemudian disusul dengan sedikit adegan-adegan selingan berupa pertengkaran, kemarahan, tangisan berjamaah, pengusiran dan sejenisnya. Selanjutnya cerita pun dimulai. Ada banyak variasi cerita dalam genre ini. Bisa menjadi cerita perjuangan calon ibu mempertahankan kehamilannya-karena tak mau menggugurkan, sendirian karena pejantannya tak mau bertanggung jawab, kemudian menjadi seorang ibu yang mungkin terlalu muda untuk membesarkan anaknya sendiri. Tanpa suami, dibuang keluarga. Kasihan, bukan? Pada akhirnya ibu muda single parent tadi menjadi makmur, kaya entah bagaimana caranya dan berhasil membesarkan anaknya dengan sukses dan lancar. Atau bisa juga ibu muda tadi menemukan seorang pengusaha sukses yang mau menerima ia dan anaknya. Mereka menikah dan bahagia hingga akhir sinetron. Bisa juga cerita tentang si bayi yang berjuang sendiri menjadi besar, karena sang ibu juga ogah bertanggung jawab. Si anak berjuang sendiri memperjuangkan hidupnya yang sendiri, sepi dan keras. Tapi akhirnya ia berjaya juga. Masih banyak variasi ceritanya. Cerita itu bisa berkembang menjadi kisah perseteruan dua orang yang ternyata bersaudara, pembunuhan, incest, dan sebagainya. Tapi yang pasti, kebanyakan cerita itu berakhir bahagia. Genre ini, kebanyakan penggemarnya adalah ibu-ibu. Menurut beliau-beliau itu, selain jalan cerita dan penyajiannya yang menyentuh perasaan, juga mengandung banyak pesan moral. Katanya, cerita-cerita itu banyak mengandung pesan, tentang kesabaran, ketabahan, bahwa Tuhan akan selalu menolong hamba yang menderita dan sabar, dan masih banyak lagi. Menurutku, ada satu pesan terpenting yang disampaikan cerita-cerita itu: 'zina itu tonggak kesuksesan dan kebahagiaan'. Entah apa yang ada dalam kepala orang-orang yang membuat sinetron macam ini. Mungkin kepalanya itu adalah scrotum yang salah posisi tumbuhnya. Mereka berusaha menyampaikan pesan tentang pentingnya tanggung jawab dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab. Kemudian genre lain-menyesuaikan dengan keadaan-mulai muncul, membangkitkan selera pasar, yang diikuti dengan menjamurnya genre yang sama. Begitu seterusnya sehingga muncul banyak genre lain yang mempengaruhi dan terpengaruh pasar. Ada sinetron religi, yang ditandai dengan banyaknya adegan orang sembahyang, mengumbar bahasa Arab, tokoh-tokoh yang berkerudung, berbaju gamis, kemana-mana mengurut untaian tasbih. Kemudian ada sinetron komedi, yang menyajikan apa pun asal penonton tertawa, sinetron berseragam, yang banyak menampilkan ABA (Anak Baru ABG) dan sebagainya. Tapi kalau diamati, variasi tema utama yang disampaikan oleh beragam sinetron itu tidak seberagam genrenya. Tema-tema itu berkisar pada keluarga (perselisihan tak kunjung usai), cinta (a.k. pacaran dan rebutan pacar), seks dan mistis yang membodohkan. Kebanyakan sinetron itu menjadi iklan mimpi. Para pembuatnya benar-benar brilian, telah menembak tepat pada kebutuhan pasar. Kita semua sedang butuh mimpi. Sayangnya, mimpi yang ditawarkan itu adalah mimpi basah di siang bolong di tengah gurun di musim panas. Melemahkan. Para pembuatnya semakin giat dan gencar membuat, karena memang laku. Ibu-ibu, yang menjadi mayoritas penggemar sinetron, adalah punggawa rumah tangga, perdana menteri urusan rumah yang seringkali menentukan "nonton apa kita sekarang?". Maka hampir pasti semua orang ikut menontonnya. Maaf, tidak ada maksud menyalahkan para ibu. Sinetron ada di tv, tv adalah salah satu ikon peradaban. Peradaban terdiri dari manusia dan sistem yang saling mempengaruhi. Orang membuat tv, tv mempengaruhi orang, orang mengembangkan tv, semakin mempengaruhi orang....... dan seterusnya. Lingkaran setan. mengapa setan yang disalahkan? Mungkin tidak ada yang perlu disalahkan, atas kekhilafan dan ketidaksadaran. Bahkan mungkin kita tidak perlu membesarkan dan mempertanyakan apa ada yang salah. Hanya saja, kita mestinya sadar, kalau sebenarnya TERSANJUNG itu cukup satu.

Tidak ada komentar:

Post category