Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.

Minggu, 26 Oktober 2008

Palung dalam antara Ikhlas dan Lupa

Suatu saat dalam sebuah wawancara di televisi (Acara Kick Andy, MetroTV), Gus Dur menyatakan bahwa ia bisa ikhlas dengan perlakuan Amien Rais, Megawati dan kawan-kawan yang dianggapnya bertanggung jawab atas lengsernya Gus Dur sebagai Presiden RI kala itu. Dengan enteng dan gaya khasnya itu, ia mengatakan bahwa "ikhlas, sih, iya. Lupa, nggak".

Bagi sebagian orang, terutama orang awam, pernyataan Gus Dur ini kontradiktif alias nyeleneh, suatu hal yang sudah sangat dimaklumi bagi kebanyakan orang tentang Gus Dur.

Tapi, untuk kali ini, saya sepakat dengan Gus Dur, sekalipun dalam banyak hal, atau bahkan tentang hampir semua hal, saya tidak sejalan atau sepakat dengan Gus Dur. Dalam hal ini, saya bukannya menyepakati kalau Amien atau Mega dan kawan-kawan yang bertanggung jawab atas lengsernya Gus Dur, karena sepertinya itu salahnya sendiri. Tapi saya sepakat kalau ikhlas itu jelas berbeda dengan lupa atau melupakan.

Saya sendiri sering mengalami, pada saat saya mengingatkan seseorang tentang kesalahannya (terutama kesalahan kepada saya) saya dianggap tidak ikhlas.

Kebanyakan kita menganggap kedua hal (ikhlas dan lupa) itu sama, paling tidak dalam hal aplikasinya. Padahal sama sekali berbeda. Banyak orang yang menganggap, jika kita tidak atau belum lupa atas kesalahan teman kita, sebagai contoh, berarti kita tidak atau belum ikhlas.

Padahal, dasar keduanya sangat berbeda. Lupa dan melupakan bergantung pada daya ingat seseorang atau kemampuan untuk mengatur ingatan dan isi kepalanya. Jadi sangat tergantung pada kerja otak. Sedangkan ikhlas adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dan mengatur hatinya, atau kalau menurut istilah AA Gym kemampuan seseorang dalam hal manajemen qolbu, dan tentu saja, jika ikhlas di sini tidak hanya diartikan sebagai sekedar 'rela', tetapi lebih kepada 'melakukan kebaikan karena Allah semata, mungkin lebih tergantung pada kekuatan aqidah dan kedekatan seseorang kepada Tuhannya.

Ikhlas itu penting, bahkan harus. Tapi melupakan itu tergantung. Tergantung kita perlu diingatkan dan mengingatkan atau tidak. Menurut saya, kita harus pemaaf dan ikhlas, tapi jangan terlalu mudah melupakan kesalahan, baik itu kesalahan kita atau orang lain. Orang yang mudah lupa adalah orang yang tidak dapat atau sulit belajar. Pengalaman yang dilupakan tidak bisa dipelajari. Padahal, saya menganggap, setiap pengalaman itu penting, dan sebisa mungkin jangan dilupakan, pengalaman apa pun itu, untuk pelajaran di masa depan. Mungkin, karena kebiasaan melupakan itulah, kita jadi sering terjebak pada pengalaman buruk yang sama, membuat kesalahan yang sama, atau kurang berhati-hati sehingga orang sering mengulang-ulang kesalahannya pada kita, sehingga kadang kita menjadi orang yang teraniaya.

Apakah ikhlas ini memang hanya untuk orang-orang yang teraniaya?

Selasa, 21 Oktober 2008

Laskar Pelangi

Heboh Laskar Pelangi belum lagi pudar. Kita seolah disentakkan dengan kesadaran "baru" bahwa pendidikan itu penting. Orang-orang menjadi semakin paham tentang konstitusi, terutama pasal 31 UUD 45, yang mereka jadikan landasan hukum untuk menuntut pemerintah.Kita dihajar berturut-turut dengan dua kali ledakan Laskar Pelangi. Yang pertama adalah ledakan bukunya yang sekarang dijuluki sebagai "The Indonesian Most Powerful Book". Menurut saya, kekuatan utama buku itu bukanlah pada cerita maupun kualitas sastranya. Buku itu memang sangat ringan dan enak dibaca sehingga menyenangkan bagi pembacanya. Tetapi kalau dilihat dari pengaturan isi novel, plot setting, pengaturan klimaks dan anti klimaks, buku itu jelas masih kalah dibandingkan banyak buku lain yang terbit pada masa ini. Susunan buku itu kurang memperhatikan kaidah-kaidah umum dalam penyusunan novel, yang bagi kebanyakan novel kontemporer memang tidak terlalu penting, tapi tetap masih ada.Pada saat saya membacanya, terus terang mula-mula saya dipusingkan dengan menyusun mozaik alur kejadian dalam novel yang acak kadut itu. Tapi saya bisa bertahan membacanya. Saya cukup terhibur dengan cara bercerita Andrea yang jenaka, menantang dan "mengacu pada banyak referensi".Jika melihat pada tema cerita, sebenarnya tema-tema "klise" semacam itu banyak sudah banyak ditampilkan oleh para novelis maupun pembuat film kita. Kedahsyatannya, mungkin masih tidak sebanding dengan kuliah-kuliah terakhir Profesor Morrie dalam "Tuesdays with Morrie" atau kisah hidup "seuntai kode genetik" dalam Middlesex. Saya sering kali menganggap tema-tema semacam itu, tema yang mengangkat perjuangan kaum miskin untuk menjadi sukses, sebagai cerita-cerita klise yang melangit, yang seolah hanya mungkin dalam cerita, bukan di kehidupan nyata.Tapi justru di situlah kekuatan buku ini. Cerita melangit itu ternyat based on true story. Pembacanya menjadi terseret dalam area nyata yang disebut Belitong itu.Sentakan itu diikuti dengan heboh film Laskar Pelangi. Ini wajar, karena ribuan orang, atau bahkan jutaan, terimbas euforia novel Laskar Pelangi, penasaran dengan bentuk filmisnya, walaupun tidak bisa diingkari kalau film itu memang bagus, baik tampilan maupun temanya, di antara timbunan film Indonesia yang kebanyakan mengacu pada humor murahan, horor dan sex.Sukses ini mirip dengan Ayat-Ayat Cinta, yang sedikit membuat saya kecewa dengan hasil filmnya. Saya memang tidak mengharapkan mendapat cerita yang sama dengan yang saya baca dalam novel, karena itu akan menjadikan menonton film itu percuma saja, mendingan kita baca novelnya dan bayangkan sendiri tiap kejadiannya. Yang mengecewakan saya adalah adanya perubahan muatan dakwah dan nilai yang ditampilkan dalam film itu.Misalnya saja, saat Aisha berbicara dengan staff kedutaan untuk membicarakan masalah kebebasan suaminya, ia diam saja saat diejek 'Anda baru mengenalnya tiga minggu dan mau menikahinya?'. Ini seakan meremehkan konsep taaruf dalam Islam dan mengkampanyekan 'pacaran model anak gaul sekarang'. Juga penggambaran sosok fahri yang terlalu lemah sebagai laki-laki (tidak tegas dan tidak adil saat ia lebih banyak mengurusi istri barunya). Dan tentu saja buntutnya adalah pemberian label 'buruk sekali' terhadap konsep poligami.Kembali ke Laskar Pelangi, saya salut sekali pada Andrea Hirata, dan semua komponen yang telah membantunya mengkampanyekan idenya tentang pentingnya pendidikan yang benar ini kepada masyarakat luas, penerbit, editor, pembuat film, sopir, dan semuanya, apapun motivasinya.Sekarang kita hanya bisa berharap agar sentakan kuat Laskar Pelangi ini bukan sekedar gelegar petir yang menyambar keras, kemudian selesai, atau berlanjut sekali-sekali. Tapi menjadi alat kejut jantung yang sukses mengaktifkan kembali jantung pendidikan kita. Amin....

Apa yang ditawarkan Pendidikan Kita

Laskar Pelangi itu menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan. Tapi pendidikan, atau lebih khususnya, sekolah yang seperti apa? Kalau kita melihat perkembangan dunia pendidikan kita, kita patut bertanya.Apa yang sebenarnya ditawarkan pendidikan kita? itu menjadi pertanyaan besar, paling tidak bagi saya, akhir-akhir ini.Menurut ilmu psikologi, ada dua bagian otak yang diolah dan dikembangkan, salah satunya dengan pendidikan. Ada otak kiri, yang mendominasi area inteljensi, kemampuan sintetis, linier. Ada otak kanan yang mendominasi area emosional, kemampuan analisis.Sekarang ini, sudah hampir semua orang menyadari pentingnya keseimbangan antara keduanya, sehingga sudah mulai banyak suara yang menginginkan adanya bagian pengembangan kepribadian (otak kanan) dalam kurikulum kita. Dengan banyaknya orang yang sadar itu, logikanya, pendidikan (=kurikulum) kita sudah mengarah ke sana. Benarkah? Sepertinya masih jauh panggang dari api.Kita bisa melihat hasil pendidikan itu dari dunia pendidikan itu sendiri, atau indikator paling jelas adalah hasil pendidikan itu, orang-orang terdidik, para lulusan sekolah atau para sarjana kita.Saya melihat, ada tiga golongan paling besar dari 'orang-orang terdidik' itu yang sangat banyak jumlahnya di negara ini.Golongan pertama adalah orang-orang yang kuat otak kirinya, lemah otak kanannya. Orang ini biasanya kurang banyak bergaul, dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kertas dan alat peraga. Orang-orang ini hampir tidak punya selera humor, kalaupun ada bercandanya harus pakai otak, tidak berseni, dan salah satu ciri tambahan di negara kita, biasanya miskin. Sebab gaji peneliti di negara ini memang belum sebesar para praktisi. Orang-orang ini kurang bisa berperan dalam perkembangan peradaban, sekalipun mereka adalah penguasa teknologi, karena mereka selain kurang bergaul juga susah mengambil inisiatif, dan keputusan serta kurang kreatif tentang hal yang berkaitan dengan urusan perkembangan masyarakat.Golongan kedua adalah orang yang kuat otak kanannya, lemah otak kirinya. Orang ini saya gambarkan sebagai orang-orang yang 'gaul melulu tapi dongoknya minta ampyun'. Mereka ini biasanya adalah para aktifis yang mengikuti berbagai kegiatan di kampus atau masyarakat, dalam bidang apa pun, sebagian rajin kalau disuruh begadang. Hampir tidak ada di antara mereka yang menjadi pimpinan atau pengambil keputusan (meskipun mereka ini aktifis hebat) karena otaknya yang lemot itu. Orang-orang ini juga kurang berperan dalam perkembangan peradaban, karena mereka 'loncat kanan kiri tanpa beban dan arah'. Sibuk tapi tanpa isi.Golongan terakhir adalah orang yang lemah otak kanan kirinya, alias tidak punya otak. Ini yang paling payah. Mereka ini biasanya, sejak masa sekolah dan kuliahnya, sudah disibukkan dengan urusan mode, gaul dalam kelompok-kelompok kecil alias 'genk', setia meng-update gaya sesuai artis atau meniru gaya anak-anak seusianya di belahan dada, eh, dunia yang lain. Mereka ini kalau sekolah tidak pernah tahu apa yang sedang dipelajari, di masyarakatnya atau di kampusnya juga tidak terlibat dalam aktifitas apa pun. Mereka ini hanya meniru, meniru, meniru dan yang penting senang. Golongan ini bukan sekedar tidak berperan dalam perkembangan peradaban, tapi menjadi penghambat, alias sampah masyarakat. Mereka sangat tidak pantas bahkan untuk menjadi penjahat sekalipun. Disemprot obat anti hama adalah perlakuan yang paling tepat untuk mereka.Di luar ketiga golongan besar tadi, ada sekelompok kecil orang yang kuat kedua sisi otaknya, atau paling tidak kekuatannya berimbang sesuai takaran. Orang-orang inilah yang mempengaruhi dan mengembangkan peradaban negeri kita. Tapi karena jumlahnya sedikit, ya, negara kita lambat pertumbuhannya.....

Senin, 13 Oktober 2008

Dua golongan penyambut lebaran

Setiap menjelang lebaran, aku biasa melihat kesibukan orang-orang menyambutnya. Untuk keperluan Sholat Ied saja, biasanya orang-orang begitu antusias memikirkan baju apa yang akan dipakai, ikut sholat di mana, bersama siapa, naik apa dan sebagainya. Luar biasa. Sungguh tidak biasa, berbeda dengan hari-hari yang lain.Kalau kupikir-pikir, sepertinya ada dua jenis orang dalam urusan menyambut Lebaran, terutama berkaitan dengan sholat Iednya ini. Pertama, golongan yang begitu antusias menyambut Lebaran dan sholat Ied karena benar-benar merasakan kemenangan, dan merasakan ke-Raya-an dari hari raya itu. Intinya aku menganggap golongan ini adalah yang layak menyambut dan menyambut dengan selayaknya. Kedua, golongan yang antusias menyambut lebaran, antusias melaksanakan sholat ied, karena sholat itu adalah salah satu dari dua sholat yang dilaksanakannya dalam setahun. Setahun ia sholat hanya dua kali. Yang ini tidak usah dibahas. Mumpung bulan Syawal belum habis, buat semua yang membaca, selamat hari raya idul fitri, semoga Allah menerima segala amal kebaikan kita semua...... dan selamat menjalankan ibadah puasa Syawal untuk yang melaksanakannya.

Post category