Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.

Selasa, 21 Oktober 2008

Laskar Pelangi

Heboh Laskar Pelangi belum lagi pudar. Kita seolah disentakkan dengan kesadaran "baru" bahwa pendidikan itu penting. Orang-orang menjadi semakin paham tentang konstitusi, terutama pasal 31 UUD 45, yang mereka jadikan landasan hukum untuk menuntut pemerintah.Kita dihajar berturut-turut dengan dua kali ledakan Laskar Pelangi. Yang pertama adalah ledakan bukunya yang sekarang dijuluki sebagai "The Indonesian Most Powerful Book". Menurut saya, kekuatan utama buku itu bukanlah pada cerita maupun kualitas sastranya. Buku itu memang sangat ringan dan enak dibaca sehingga menyenangkan bagi pembacanya. Tetapi kalau dilihat dari pengaturan isi novel, plot setting, pengaturan klimaks dan anti klimaks, buku itu jelas masih kalah dibandingkan banyak buku lain yang terbit pada masa ini. Susunan buku itu kurang memperhatikan kaidah-kaidah umum dalam penyusunan novel, yang bagi kebanyakan novel kontemporer memang tidak terlalu penting, tapi tetap masih ada.Pada saat saya membacanya, terus terang mula-mula saya dipusingkan dengan menyusun mozaik alur kejadian dalam novel yang acak kadut itu. Tapi saya bisa bertahan membacanya. Saya cukup terhibur dengan cara bercerita Andrea yang jenaka, menantang dan "mengacu pada banyak referensi".Jika melihat pada tema cerita, sebenarnya tema-tema "klise" semacam itu banyak sudah banyak ditampilkan oleh para novelis maupun pembuat film kita. Kedahsyatannya, mungkin masih tidak sebanding dengan kuliah-kuliah terakhir Profesor Morrie dalam "Tuesdays with Morrie" atau kisah hidup "seuntai kode genetik" dalam Middlesex. Saya sering kali menganggap tema-tema semacam itu, tema yang mengangkat perjuangan kaum miskin untuk menjadi sukses, sebagai cerita-cerita klise yang melangit, yang seolah hanya mungkin dalam cerita, bukan di kehidupan nyata.Tapi justru di situlah kekuatan buku ini. Cerita melangit itu ternyat based on true story. Pembacanya menjadi terseret dalam area nyata yang disebut Belitong itu.Sentakan itu diikuti dengan heboh film Laskar Pelangi. Ini wajar, karena ribuan orang, atau bahkan jutaan, terimbas euforia novel Laskar Pelangi, penasaran dengan bentuk filmisnya, walaupun tidak bisa diingkari kalau film itu memang bagus, baik tampilan maupun temanya, di antara timbunan film Indonesia yang kebanyakan mengacu pada humor murahan, horor dan sex.Sukses ini mirip dengan Ayat-Ayat Cinta, yang sedikit membuat saya kecewa dengan hasil filmnya. Saya memang tidak mengharapkan mendapat cerita yang sama dengan yang saya baca dalam novel, karena itu akan menjadikan menonton film itu percuma saja, mendingan kita baca novelnya dan bayangkan sendiri tiap kejadiannya. Yang mengecewakan saya adalah adanya perubahan muatan dakwah dan nilai yang ditampilkan dalam film itu.Misalnya saja, saat Aisha berbicara dengan staff kedutaan untuk membicarakan masalah kebebasan suaminya, ia diam saja saat diejek 'Anda baru mengenalnya tiga minggu dan mau menikahinya?'. Ini seakan meremehkan konsep taaruf dalam Islam dan mengkampanyekan 'pacaran model anak gaul sekarang'. Juga penggambaran sosok fahri yang terlalu lemah sebagai laki-laki (tidak tegas dan tidak adil saat ia lebih banyak mengurusi istri barunya). Dan tentu saja buntutnya adalah pemberian label 'buruk sekali' terhadap konsep poligami.Kembali ke Laskar Pelangi, saya salut sekali pada Andrea Hirata, dan semua komponen yang telah membantunya mengkampanyekan idenya tentang pentingnya pendidikan yang benar ini kepada masyarakat luas, penerbit, editor, pembuat film, sopir, dan semuanya, apapun motivasinya.Sekarang kita hanya bisa berharap agar sentakan kuat Laskar Pelangi ini bukan sekedar gelegar petir yang menyambar keras, kemudian selesai, atau berlanjut sekali-sekali. Tapi menjadi alat kejut jantung yang sukses mengaktifkan kembali jantung pendidikan kita. Amin....

Tidak ada komentar:

Post category