Minggu, 02 November 2008
What our Education Offers
Minggu, 26 Oktober 2008
Palung dalam antara Ikhlas dan Lupa
Bagi sebagian orang, terutama orang awam, pernyataan Gus Dur ini kontradiktif alias nyeleneh, suatu hal yang sudah sangat dimaklumi bagi kebanyakan orang tentang Gus Dur.
Tapi, untuk kali ini, saya sepakat dengan Gus Dur, sekalipun dalam banyak hal, atau bahkan tentang hampir semua hal, saya tidak sejalan atau sepakat dengan Gus Dur. Dalam hal ini, saya bukannya menyepakati kalau Amien atau Mega dan kawan-kawan yang bertanggung jawab atas lengsernya Gus Dur, karena sepertinya itu salahnya sendiri. Tapi saya sepakat kalau ikhlas itu jelas berbeda dengan lupa atau melupakan.
Saya sendiri sering mengalami, pada saat saya mengingatkan seseorang tentang kesalahannya (terutama kesalahan kepada saya) saya dianggap tidak ikhlas.
Kebanyakan kita menganggap kedua hal (ikhlas dan lupa) itu sama, paling tidak dalam hal aplikasinya. Padahal sama sekali berbeda. Banyak orang yang menganggap, jika kita tidak atau belum lupa atas kesalahan teman kita, sebagai contoh, berarti kita tidak atau belum ikhlas.
Padahal, dasar keduanya sangat berbeda. Lupa dan melupakan bergantung pada daya ingat seseorang atau kemampuan untuk mengatur ingatan dan isi kepalanya. Jadi sangat tergantung pada kerja otak. Sedangkan ikhlas adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dan mengatur hatinya, atau kalau menurut istilah AA Gym kemampuan seseorang dalam hal manajemen qolbu, dan tentu saja, jika ikhlas di sini tidak hanya diartikan sebagai sekedar 'rela', tetapi lebih kepada 'melakukan kebaikan karena Allah semata, mungkin lebih tergantung pada kekuatan aqidah dan kedekatan seseorang kepada Tuhannya.
Ikhlas itu penting, bahkan harus. Tapi melupakan itu tergantung. Tergantung kita perlu diingatkan dan mengingatkan atau tidak. Menurut saya, kita harus pemaaf dan ikhlas, tapi jangan terlalu mudah melupakan kesalahan, baik itu kesalahan kita atau orang lain. Orang yang mudah lupa adalah orang yang tidak dapat atau sulit belajar. Pengalaman yang dilupakan tidak bisa dipelajari. Padahal, saya menganggap, setiap pengalaman itu penting, dan sebisa mungkin jangan dilupakan, pengalaman apa pun itu, untuk pelajaran di masa depan. Mungkin, karena kebiasaan melupakan itulah, kita jadi sering terjebak pada pengalaman buruk yang sama, membuat kesalahan yang sama, atau kurang berhati-hati sehingga orang sering mengulang-ulang kesalahannya pada kita, sehingga kadang kita menjadi orang yang teraniaya.
Apakah ikhlas ini memang hanya untuk orang-orang yang teraniaya?
Selasa, 21 Oktober 2008
Laskar Pelangi
Apa yang ditawarkan Pendidikan Kita
Senin, 13 Oktober 2008
Dua golongan penyambut lebaran
Kamis, 18 September 2008
Merokok itu Haram (curhat seorang perokok, yang ingin jadi mantan)
Mungkin pernyataan itu yang sekarang sedang ditunggu kepastiannya oleh beberapa pihak. Pernyataan alias fatwa dari MUI. Sebagian menunggu benar-benar dikeluarkan, sebagian menghadangnya.
Kak Seto dan kawan-kawan sama sekali tidak salah waktu meminta MUI untuk segera mengeluarkan fatwa tersebut. Tapi orang-orang yang bekerja di industri rokok itu juga tidak salah menolaknya, karena memang saat ini industri rokok sudah menguasai hajat hidup orang banyak.
Yang jelas, sejak polemik itu muncul, sekarang semakin banyak pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan merokok itu. Mulai dari efek-efek sosial, psikologis dan fisik yang disebabkan oleh rokok, curhat-curhat para tokoh yang sukses berhenti merokok dan sebagainya. Kalau dilihat, ada tren positif tentang pembahasan masalah rokok ini. paling tidak kebanyakan publikasi yang berita atau publikasi pembicaraan tentang rokok, mengarah pada satu ujung yang menyatakan ROKOK ITU BURUK.
Yang agak kurang memuaskan bagi saya, justru pernyataan dari MUI sendiri. Pada saat semakin banyak badan dan LSM, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menyuarakan pendapatnya tentang buruknya rokok dan lebih buruknya dampak-dampaknya, mendesak MUI segera mengeluarkan fatwa haram, MUI justru menyatakan sedang mengkaji manfaat dan mudaratnya. (Jawa Pos, Senin 15 September 2008, Berharap Fatwa Haram MUI).
Mudaratnya sudah sangat jelas. Sudah terlalu banyak pihak yang mengetengahkan pendapat dan bahkan hasil penelitian yang menunjukkannya. Mungkin yang dimaksud MUI dengan “manfaat” rokok lebih mengarah pada masalah-masalah sosial dan ekonomi. Para pekerja di industri rokok, buruhnya bukan pengusahanya, memang harus dipikirkan. Mereka harus dipindahkan ke industri apa agar tidak lantas menganggur.
Saya sendiri adalah seorang perokok. Saat ini saya sedang berusaha berhenti dan paling tidak sudah berkurang banyak dari beberapa waktu yang lalu, terutama saat kuliah. Saya ingin berhenti karena telinga saya sudah terlalu panas mendengar orang bicara tentang buruknya merokok dan akibatnya. Saya tidak berhenti-berhenti karena, apalagi kalau bukan kebiasaan.
Sekarang saya merokok paling banyak 1 batang sehari, atau pada event khusus dan terdesak....(alah..!!).... 2 batang. Secara pribadi saya sendiri sangat mendukung jika MUI mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Mungkin itu malah bisa membantu saya untuk berhenti merokok. Sebagai seorang muslim, biarpun mungkin masih jauh dari surga, saya juga tidak mengharapkan neraka, dong. Jadi mari kita doakan dan dukung agar MUI segera mengeluarkan fatwanya.
Yang sekarang saya pikirkan, mengapa keharaman suatu barang atau hal musti menunggu ada yang mengeluarkan keluhan. Pembahasan tentang fatwa haram untuk rokok baru muncul dan ramai dibicarakan setelah Kak Seto melapor ke MUI. Bisa jadi nantinya ada komoditi lain yang masuk ke negara kita, diterima begitu saja, baru setelah ada keluhan, dibahas tentang halal-haramnya. Saya khawatir kalau nanti akan muncul dan berkembang persepsi dalam masyarakat, bahwa masalah halal-haram ini adalah masalah yang “sesuai kebutuhan” atau malah “sesuai pesanan”. Jika terjadi seperti itu, kewibawaan MUI yang sepertinya sudah melorot itu semakin tidak ada.
Khamr itu mungkin saja ada manfaatnya, tapi mudaratnya jauh lebih besar. Mungkin rokok juga seperti itu. Buat saya, merokok mempunyai dampak yang lebih dalam, lebih buruk dan lebih besar dibandingkan dengan minuman keras. Buktinya, saya jauh lebih mudah berhenti “mabuk” daripada berhenti merokok.
Seumpamanya saja Al-Qur’an tidak secara tegas memberikan larangan khamr, mungkin segala macam minuman keras beredar di masyarakat kita tanpa “label haram”. Kemudian industri minuman keras ini berkembang pesat, sehingga cukup menguasai hajat hidup orang banyak, seperti rokok pada saat ini. Lalu ada orang yang mengeluhkan tentang buruknya dampak minuman keras. Baru kemudian MUI membahas manfaat dan mudaratnya. MUI akan kesulitan mengeluarkan fatwa haram itu, atau paling tidak terhambat, karena masalah sosial dan ekonomi tadi. Bisa jadi minuman keras itu batal jadi haram.
Jadi, bagaimana kalau seandainya MUI lebih aktif meneliti setiap barang dan hal, terutama yang jelas memberi dampak tertentu pada masyarakat secara luas, untuk bisa segera mengetahui status halal-haramnya, tanpa menunggu ada keluhan? Atau kalau perlu segera setelah barang itu dikenal dan masuk ke negara tercinta ini, sebelum sempat beredar luas. Jadi setiap komoditi yang beredar sudah jelas halalnya. Mungkin MUI bisa membentuk sebuah lembaga khusus untuk ini, atau bekerja sama dengan badan atau departemen negara, seperti BPOM, Departemen Perdagangan, DEPKOMINFO, DEPDAGRI, DEPTAN, Kejaksaan dan sebagainya.
Sekali lagi mari kita dukung dan berdoa untuk kesuksesan MUI ini. Kita bisa ikut andil dengan banyak hal, ikut kampanye anti rokok, menyadarkan tentang bahaya merokok. Bagi para perokok, termasuk saya yang mengaku pecinta alam tapi perokok ini, bisa juga membantu dengan berusaha berhenti merokok. Saya tahu itu berat......
Selasa, 09 September 2008
Miracle (Sajian Laris Bulan Ramadhan)
Seorang ibu tua sedang duduk melamun di beranda rumahnya.Kerudung lusuhnya seakan mewakili suasana hatinya. Ia sedang merindu. Mendamba.
Di tengah ketenangan lamunannya itu, seorang lelaki muda, tiga puluhan bertubuh subur, memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum.."
"Wa alaikumus salam. Baru datang, Ri? Bagaimana dagangan hari ini?"
Juri, anaknya yang pedagang bakso itu, duduk dikursi sebelahnya. "Alhamdulillah, Mak. Lumayan.Insya Allah masih ada sisa, setelah dikurangi untuk kebutuhan rumah, terus untuk beli bahan-bahan buat besok. Masih ada empat puluh ribu masuk tabungan." Juri, mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan dari kantung bajunya, mengambil beberapa lembar dan menyerahkannya kepada Emak.
"Ini, Mak simpan. Mudah-mudahan bisa lebih cepet tabungannya ngumpul ya, Mak. Biar Mak bisa cepet berangkat hajinya."
"Kira-kira kapan ya, gue bisa bener-bener haji. Sudah pingiii..n banget. Mumpung masih ada umur. Emak kan sudah tua, Ri."
"Ya, doakan saja lah, Mak. Juri juga usaha terus. Emak bantu doa saja. Insya Allah kalau memang rejeki nggak bakal kemana kok, Mak. Juri mandi dulu ya, Mak"
Juri masuk ke dalam rumah dan menemui istrinya yang masih sibuk di dapur. Juri mencium kening istrinya dan menyerahkan beberapa lembar uang belanja harian. Ia kemudian menyempatkan diri membantu istrinya yang sedang menyiapkan takjil dan hidangan makan malam, sebelum akhirnya berangkat mandi.
*
Tubuh suburnya berguncang-guncang hebat mengikuti irama lontaran-lontaran kakinya. Ia bergegas menuju rumah, meninggalkan gerobak baksonya yang ia titipkan di Pos Kamling. Dengan tergopoh-gopoh ia mencari Emak dan istrinya, yang sedang sibuk di belakang, mencuci piring dan menyiapkan sayuran.
"Alhamdulillah, alhamdulillah. Mak. Mak. Insya Allah Emak bisa naik haji tahun depan. Bukan cuma Emak. Juri sama Entin juga bisa ikut berangkat, Mak."
"Astaghfirullah, Ri. Istighfar. Tenang dulu. Minum air putih sini...."
"Yeee..., Juri kan lagi puasa, Mak."
"Eh, iya. Itu... kamu kenapa? Kok lari-larian ke rumah. Pake bilang bisa naik haji tahun depan segala. "
"Bener, Mak. Alhamdulillah. Juri menang Undian Sabun, Mak. Beneran nih, kuponnya masih ada. Untung Juri simpen terus, nggak sampai kebuang. Tahu berapa hadiahnya, Mak? 1 Trilyun, Mak. Kita bisa naik haji barengan, kalau perlu orang satu kampung yang belum haji mau Juri ajak juga."
Emak merasa lututnya lemas. Ia kemudian berlutut dan bersujud syukur, diikuti oleh Juri dan Entin.
*
Begitulah, singkat cerita Juri sekeluarga naik haji di tahun berikutnya, dan mengajak tak kurang dari empat puluh lima orang tak mampu di kampungnya. Uang berlimpah, yang jelas banyak tak habis untuk biaya haji itu, digunakannya untuk mengembangkan baksonya. Tak lama, hanya sekitar setahun ia sudah mempunyai waralaba bakso dengan omzet 50 trilyun sebulan. Selanjutnya ia dikenal orang dengan sebutan Saudagar Haji Bakso Sabun.
*
Itu adalah sebuah cerita yang mirip dengan ditayangkan di televisi beberapa Ramadhan yang lalu, dan diulangi lagi Ramadhan lalu dan sekarang, juga di bahas di beberapa literatur (maksudnya ceramah-ceramah Ramadhan).
Begitulah. Segala konsumsi rohani kita, yang berupa tontonan, bacaan, ceramah-ceramah dan sebagainya, semakin meyakinkan kita dengan keajaiban. Kita menjadi bukan sekedar mempercayai keajaiban, sesuatu yang memang ada, yang terkadang menunjukkan kemahakuasaan Tuhan ke hadapan kita. Tapi kita menjadi semakin mengharapkan keajaiban. Akankah kita terus berangan-angan?
Selasa, 02 September 2008
Euforia Ramadhan
