Words represent us. We can tell others by words. We can express our voices by words. We communicate by words. We develop life with words. We can show who we are by words. Words make our culture. Word is life.

Minggu, 02 November 2008

What our Education Offers

Laskar Pelangi (novel by Andrea Hirata and the movie based on the novel) made us aware about how important education is. But, what kind of education, or especially, wha kind of school? If we look at our education development, we get a really big question. What does our education offer? It became a big question lately.  In psychology, there are two part of our brain that processed and developed by education. Left brain, that works the intellegent, sintethic abilities, and linear. The right brain, that works the emotions, and analythical abilities. Nowadays, everyone realize how important to make them balance, so it begins that many voices demand the personality development part in our education or curriculum. With that big number of people that realize that, logically, our educations directed to that purpose. Really? It seems that it still far away from that purpose. We can judge our education by seeing the product of the education, the educated and schooled people, the scholars, or the graduated students. I see, there are three big groups of the 'educated people', that become the biggest part of the product of our educations. The First group contains the people that have strong left brains, but weak right brains. They usually allienated from the community, and spend most of their time with papers and tools. They almost have no sense of humor and art, and usually, in this country, have little money. They almost no contribution in the civilization development, because, although they has the technology, they weak in initiatives about the people development. The Second group contains the people that have strong right brain, but too weak left brains. They good in socializing. I describe them by 'always associating only, but really dumb'. They are always the activists that always involve in many activities in campus or community, talk all night. Almost no one of them become the leader or decision maker, because they cannot think, because of their weak brains. They always busy, but no idea. They almost have no contribution too, in the civilization development, because they just easy going but no direction. The third group contains the people that weak on both parts of their brains, a.k have no brain. This is the worst group. They, since they in the scool or college, usually only care about the fashion, associating in small groups (gank), and very loyal trend follower, trend by artist, celebrities or boys & girls in the other part of the world. They not only have no contribution in the developing people, but the disturb it. They are the scum of society. In school, they have no idea about what they are learning. In the community or society, they have no positif activity that usefull for the society. They just follow, follow, and follow. Sprayed by pesticide is the best for them. Out of that three groups, there is a group that contains small amount off people that have the strong brains, in both parts, or at lease, get the equilibrium. They are the contributor of the social development, civilization development. But, because of the small number, our country has slow development...... So, what does our education offer?

Minggu, 26 Oktober 2008

Palung dalam antara Ikhlas dan Lupa

Suatu saat dalam sebuah wawancara di televisi (Acara Kick Andy, MetroTV), Gus Dur menyatakan bahwa ia bisa ikhlas dengan perlakuan Amien Rais, Megawati dan kawan-kawan yang dianggapnya bertanggung jawab atas lengsernya Gus Dur sebagai Presiden RI kala itu. Dengan enteng dan gaya khasnya itu, ia mengatakan bahwa "ikhlas, sih, iya. Lupa, nggak".

Bagi sebagian orang, terutama orang awam, pernyataan Gus Dur ini kontradiktif alias nyeleneh, suatu hal yang sudah sangat dimaklumi bagi kebanyakan orang tentang Gus Dur.

Tapi, untuk kali ini, saya sepakat dengan Gus Dur, sekalipun dalam banyak hal, atau bahkan tentang hampir semua hal, saya tidak sejalan atau sepakat dengan Gus Dur. Dalam hal ini, saya bukannya menyepakati kalau Amien atau Mega dan kawan-kawan yang bertanggung jawab atas lengsernya Gus Dur, karena sepertinya itu salahnya sendiri. Tapi saya sepakat kalau ikhlas itu jelas berbeda dengan lupa atau melupakan.

Saya sendiri sering mengalami, pada saat saya mengingatkan seseorang tentang kesalahannya (terutama kesalahan kepada saya) saya dianggap tidak ikhlas.

Kebanyakan kita menganggap kedua hal (ikhlas dan lupa) itu sama, paling tidak dalam hal aplikasinya. Padahal sama sekali berbeda. Banyak orang yang menganggap, jika kita tidak atau belum lupa atas kesalahan teman kita, sebagai contoh, berarti kita tidak atau belum ikhlas.

Padahal, dasar keduanya sangat berbeda. Lupa dan melupakan bergantung pada daya ingat seseorang atau kemampuan untuk mengatur ingatan dan isi kepalanya. Jadi sangat tergantung pada kerja otak. Sedangkan ikhlas adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dan mengatur hatinya, atau kalau menurut istilah AA Gym kemampuan seseorang dalam hal manajemen qolbu, dan tentu saja, jika ikhlas di sini tidak hanya diartikan sebagai sekedar 'rela', tetapi lebih kepada 'melakukan kebaikan karena Allah semata, mungkin lebih tergantung pada kekuatan aqidah dan kedekatan seseorang kepada Tuhannya.

Ikhlas itu penting, bahkan harus. Tapi melupakan itu tergantung. Tergantung kita perlu diingatkan dan mengingatkan atau tidak. Menurut saya, kita harus pemaaf dan ikhlas, tapi jangan terlalu mudah melupakan kesalahan, baik itu kesalahan kita atau orang lain. Orang yang mudah lupa adalah orang yang tidak dapat atau sulit belajar. Pengalaman yang dilupakan tidak bisa dipelajari. Padahal, saya menganggap, setiap pengalaman itu penting, dan sebisa mungkin jangan dilupakan, pengalaman apa pun itu, untuk pelajaran di masa depan. Mungkin, karena kebiasaan melupakan itulah, kita jadi sering terjebak pada pengalaman buruk yang sama, membuat kesalahan yang sama, atau kurang berhati-hati sehingga orang sering mengulang-ulang kesalahannya pada kita, sehingga kadang kita menjadi orang yang teraniaya.

Apakah ikhlas ini memang hanya untuk orang-orang yang teraniaya?

Selasa, 21 Oktober 2008

Laskar Pelangi

Heboh Laskar Pelangi belum lagi pudar. Kita seolah disentakkan dengan kesadaran "baru" bahwa pendidikan itu penting. Orang-orang menjadi semakin paham tentang konstitusi, terutama pasal 31 UUD 45, yang mereka jadikan landasan hukum untuk menuntut pemerintah.Kita dihajar berturut-turut dengan dua kali ledakan Laskar Pelangi. Yang pertama adalah ledakan bukunya yang sekarang dijuluki sebagai "The Indonesian Most Powerful Book". Menurut saya, kekuatan utama buku itu bukanlah pada cerita maupun kualitas sastranya. Buku itu memang sangat ringan dan enak dibaca sehingga menyenangkan bagi pembacanya. Tetapi kalau dilihat dari pengaturan isi novel, plot setting, pengaturan klimaks dan anti klimaks, buku itu jelas masih kalah dibandingkan banyak buku lain yang terbit pada masa ini. Susunan buku itu kurang memperhatikan kaidah-kaidah umum dalam penyusunan novel, yang bagi kebanyakan novel kontemporer memang tidak terlalu penting, tapi tetap masih ada.Pada saat saya membacanya, terus terang mula-mula saya dipusingkan dengan menyusun mozaik alur kejadian dalam novel yang acak kadut itu. Tapi saya bisa bertahan membacanya. Saya cukup terhibur dengan cara bercerita Andrea yang jenaka, menantang dan "mengacu pada banyak referensi".Jika melihat pada tema cerita, sebenarnya tema-tema "klise" semacam itu banyak sudah banyak ditampilkan oleh para novelis maupun pembuat film kita. Kedahsyatannya, mungkin masih tidak sebanding dengan kuliah-kuliah terakhir Profesor Morrie dalam "Tuesdays with Morrie" atau kisah hidup "seuntai kode genetik" dalam Middlesex. Saya sering kali menganggap tema-tema semacam itu, tema yang mengangkat perjuangan kaum miskin untuk menjadi sukses, sebagai cerita-cerita klise yang melangit, yang seolah hanya mungkin dalam cerita, bukan di kehidupan nyata.Tapi justru di situlah kekuatan buku ini. Cerita melangit itu ternyat based on true story. Pembacanya menjadi terseret dalam area nyata yang disebut Belitong itu.Sentakan itu diikuti dengan heboh film Laskar Pelangi. Ini wajar, karena ribuan orang, atau bahkan jutaan, terimbas euforia novel Laskar Pelangi, penasaran dengan bentuk filmisnya, walaupun tidak bisa diingkari kalau film itu memang bagus, baik tampilan maupun temanya, di antara timbunan film Indonesia yang kebanyakan mengacu pada humor murahan, horor dan sex.Sukses ini mirip dengan Ayat-Ayat Cinta, yang sedikit membuat saya kecewa dengan hasil filmnya. Saya memang tidak mengharapkan mendapat cerita yang sama dengan yang saya baca dalam novel, karena itu akan menjadikan menonton film itu percuma saja, mendingan kita baca novelnya dan bayangkan sendiri tiap kejadiannya. Yang mengecewakan saya adalah adanya perubahan muatan dakwah dan nilai yang ditampilkan dalam film itu.Misalnya saja, saat Aisha berbicara dengan staff kedutaan untuk membicarakan masalah kebebasan suaminya, ia diam saja saat diejek 'Anda baru mengenalnya tiga minggu dan mau menikahinya?'. Ini seakan meremehkan konsep taaruf dalam Islam dan mengkampanyekan 'pacaran model anak gaul sekarang'. Juga penggambaran sosok fahri yang terlalu lemah sebagai laki-laki (tidak tegas dan tidak adil saat ia lebih banyak mengurusi istri barunya). Dan tentu saja buntutnya adalah pemberian label 'buruk sekali' terhadap konsep poligami.Kembali ke Laskar Pelangi, saya salut sekali pada Andrea Hirata, dan semua komponen yang telah membantunya mengkampanyekan idenya tentang pentingnya pendidikan yang benar ini kepada masyarakat luas, penerbit, editor, pembuat film, sopir, dan semuanya, apapun motivasinya.Sekarang kita hanya bisa berharap agar sentakan kuat Laskar Pelangi ini bukan sekedar gelegar petir yang menyambar keras, kemudian selesai, atau berlanjut sekali-sekali. Tapi menjadi alat kejut jantung yang sukses mengaktifkan kembali jantung pendidikan kita. Amin....

Apa yang ditawarkan Pendidikan Kita

Laskar Pelangi itu menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan. Tapi pendidikan, atau lebih khususnya, sekolah yang seperti apa? Kalau kita melihat perkembangan dunia pendidikan kita, kita patut bertanya.Apa yang sebenarnya ditawarkan pendidikan kita? itu menjadi pertanyaan besar, paling tidak bagi saya, akhir-akhir ini.Menurut ilmu psikologi, ada dua bagian otak yang diolah dan dikembangkan, salah satunya dengan pendidikan. Ada otak kiri, yang mendominasi area inteljensi, kemampuan sintetis, linier. Ada otak kanan yang mendominasi area emosional, kemampuan analisis.Sekarang ini, sudah hampir semua orang menyadari pentingnya keseimbangan antara keduanya, sehingga sudah mulai banyak suara yang menginginkan adanya bagian pengembangan kepribadian (otak kanan) dalam kurikulum kita. Dengan banyaknya orang yang sadar itu, logikanya, pendidikan (=kurikulum) kita sudah mengarah ke sana. Benarkah? Sepertinya masih jauh panggang dari api.Kita bisa melihat hasil pendidikan itu dari dunia pendidikan itu sendiri, atau indikator paling jelas adalah hasil pendidikan itu, orang-orang terdidik, para lulusan sekolah atau para sarjana kita.Saya melihat, ada tiga golongan paling besar dari 'orang-orang terdidik' itu yang sangat banyak jumlahnya di negara ini.Golongan pertama adalah orang-orang yang kuat otak kirinya, lemah otak kanannya. Orang ini biasanya kurang banyak bergaul, dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kertas dan alat peraga. Orang-orang ini hampir tidak punya selera humor, kalaupun ada bercandanya harus pakai otak, tidak berseni, dan salah satu ciri tambahan di negara kita, biasanya miskin. Sebab gaji peneliti di negara ini memang belum sebesar para praktisi. Orang-orang ini kurang bisa berperan dalam perkembangan peradaban, sekalipun mereka adalah penguasa teknologi, karena mereka selain kurang bergaul juga susah mengambil inisiatif, dan keputusan serta kurang kreatif tentang hal yang berkaitan dengan urusan perkembangan masyarakat.Golongan kedua adalah orang yang kuat otak kanannya, lemah otak kirinya. Orang ini saya gambarkan sebagai orang-orang yang 'gaul melulu tapi dongoknya minta ampyun'. Mereka ini biasanya adalah para aktifis yang mengikuti berbagai kegiatan di kampus atau masyarakat, dalam bidang apa pun, sebagian rajin kalau disuruh begadang. Hampir tidak ada di antara mereka yang menjadi pimpinan atau pengambil keputusan (meskipun mereka ini aktifis hebat) karena otaknya yang lemot itu. Orang-orang ini juga kurang berperan dalam perkembangan peradaban, karena mereka 'loncat kanan kiri tanpa beban dan arah'. Sibuk tapi tanpa isi.Golongan terakhir adalah orang yang lemah otak kanan kirinya, alias tidak punya otak. Ini yang paling payah. Mereka ini biasanya, sejak masa sekolah dan kuliahnya, sudah disibukkan dengan urusan mode, gaul dalam kelompok-kelompok kecil alias 'genk', setia meng-update gaya sesuai artis atau meniru gaya anak-anak seusianya di belahan dada, eh, dunia yang lain. Mereka ini kalau sekolah tidak pernah tahu apa yang sedang dipelajari, di masyarakatnya atau di kampusnya juga tidak terlibat dalam aktifitas apa pun. Mereka ini hanya meniru, meniru, meniru dan yang penting senang. Golongan ini bukan sekedar tidak berperan dalam perkembangan peradaban, tapi menjadi penghambat, alias sampah masyarakat. Mereka sangat tidak pantas bahkan untuk menjadi penjahat sekalipun. Disemprot obat anti hama adalah perlakuan yang paling tepat untuk mereka.Di luar ketiga golongan besar tadi, ada sekelompok kecil orang yang kuat kedua sisi otaknya, atau paling tidak kekuatannya berimbang sesuai takaran. Orang-orang inilah yang mempengaruhi dan mengembangkan peradaban negeri kita. Tapi karena jumlahnya sedikit, ya, negara kita lambat pertumbuhannya.....

Senin, 13 Oktober 2008

Dua golongan penyambut lebaran

Setiap menjelang lebaran, aku biasa melihat kesibukan orang-orang menyambutnya. Untuk keperluan Sholat Ied saja, biasanya orang-orang begitu antusias memikirkan baju apa yang akan dipakai, ikut sholat di mana, bersama siapa, naik apa dan sebagainya. Luar biasa. Sungguh tidak biasa, berbeda dengan hari-hari yang lain.Kalau kupikir-pikir, sepertinya ada dua jenis orang dalam urusan menyambut Lebaran, terutama berkaitan dengan sholat Iednya ini. Pertama, golongan yang begitu antusias menyambut Lebaran dan sholat Ied karena benar-benar merasakan kemenangan, dan merasakan ke-Raya-an dari hari raya itu. Intinya aku menganggap golongan ini adalah yang layak menyambut dan menyambut dengan selayaknya. Kedua, golongan yang antusias menyambut lebaran, antusias melaksanakan sholat ied, karena sholat itu adalah salah satu dari dua sholat yang dilaksanakannya dalam setahun. Setahun ia sholat hanya dua kali. Yang ini tidak usah dibahas. Mumpung bulan Syawal belum habis, buat semua yang membaca, selamat hari raya idul fitri, semoga Allah menerima segala amal kebaikan kita semua...... dan selamat menjalankan ibadah puasa Syawal untuk yang melaksanakannya.

Kamis, 18 September 2008

Merokok itu Haram (curhat seorang perokok, yang ingin jadi mantan)

Mungkin pernyataan itu yang sekarang sedang ditunggu kepastiannya oleh beberapa pihak. Pernyataan alias fatwa dari MUI. Sebagian menunggu benar-benar dikeluarkan, sebagian menghadangnya. Kak Seto dan kawan-kawan sama sekali tidak salah waktu meminta MUI untuk segera mengeluarkan fatwa tersebut. Tapi orang-orang yang bekerja di industri rokok itu juga tidak salah menolaknya, karena memang saat ini industri rokok sudah menguasai hajat hidup orang banyak. Yang jelas, sejak polemik itu muncul, sekarang semakin banyak pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan merokok itu. Mulai dari efek-efek sosial, psikologis dan fisik yang disebabkan oleh rokok, curhat-curhat para tokoh yang sukses berhenti merokok dan sebagainya. Kalau dilihat, ada tren positif tentang pembahasan masalah rokok ini. paling tidak kebanyakan publikasi yang berita atau publikasi pembicaraan tentang rokok, mengarah pada satu ujung yang menyatakan ROKOK ITU BURUK. Yang agak kurang memuaskan bagi saya, justru pernyataan dari MUI sendiri. Pada saat semakin banyak badan dan LSM, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menyuarakan pendapatnya tentang buruknya rokok dan lebih buruknya dampak-dampaknya, mendesak MUI segera mengeluarkan fatwa haram, MUI justru menyatakan sedang mengkaji manfaat dan mudaratnya. (Jawa Pos, Senin 15 September 2008, Berharap Fatwa Haram MUI). Mudaratnya sudah sangat jelas. Sudah terlalu banyak pihak yang mengetengahkan pendapat dan bahkan hasil penelitian yang menunjukkannya. Mungkin yang dimaksud MUI dengan “manfaat” rokok lebih mengarah pada masalah-masalah sosial dan ekonomi. Para pekerja di industri rokok, buruhnya bukan pengusahanya, memang harus dipikirkan. Mereka harus dipindahkan ke industri apa agar tidak lantas menganggur. Saya sendiri adalah seorang perokok. Saat ini saya sedang berusaha berhenti dan paling tidak sudah berkurang banyak dari beberapa waktu yang lalu, terutama saat kuliah. Saya ingin berhenti karena telinga saya sudah terlalu panas mendengar orang bicara tentang buruknya merokok dan akibatnya. Saya tidak berhenti-berhenti karena, apalagi kalau bukan kebiasaan. Sekarang saya merokok paling banyak 1 batang sehari, atau pada event khusus dan terdesak....(alah..!!).... 2 batang. Secara pribadi saya sendiri sangat mendukung jika MUI mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Mungkin itu malah bisa membantu saya untuk berhenti merokok. Sebagai seorang muslim, biarpun mungkin masih jauh dari surga, saya juga tidak mengharapkan neraka, dong. Jadi mari kita doakan dan dukung agar MUI segera mengeluarkan fatwanya. Yang sekarang saya pikirkan, mengapa keharaman suatu barang atau hal musti menunggu ada yang mengeluarkan keluhan. Pembahasan tentang fatwa haram untuk rokok baru muncul dan ramai dibicarakan setelah Kak Seto melapor ke MUI. Bisa jadi nantinya ada komoditi lain yang masuk ke negara kita, diterima begitu saja, baru setelah ada keluhan, dibahas tentang halal-haramnya. Saya khawatir kalau nanti akan muncul dan berkembang persepsi dalam masyarakat, bahwa masalah halal-haram ini adalah masalah yang “sesuai kebutuhan” atau malah “sesuai pesanan”. Jika terjadi seperti itu, kewibawaan MUI yang sepertinya sudah melorot itu semakin tidak ada. Khamr itu mungkin saja ada manfaatnya, tapi mudaratnya jauh lebih besar. Mungkin rokok juga seperti itu. Buat saya, merokok mempunyai dampak yang lebih dalam, lebih buruk dan lebih besar dibandingkan dengan minuman keras. Buktinya, saya jauh lebih mudah berhenti “mabuk” daripada berhenti merokok. Seumpamanya saja Al-Qur’an tidak secara tegas memberikan larangan khamr, mungkin segala macam minuman keras beredar di masyarakat kita tanpa “label haram”. Kemudian industri minuman keras ini berkembang pesat, sehingga cukup menguasai hajat hidup orang banyak, seperti rokok pada saat ini. Lalu ada orang yang mengeluhkan tentang buruknya dampak minuman keras. Baru kemudian MUI membahas manfaat dan mudaratnya. MUI akan kesulitan mengeluarkan fatwa haram itu, atau paling tidak terhambat, karena masalah sosial dan ekonomi tadi. Bisa jadi minuman keras itu batal jadi haram. Jadi, bagaimana kalau seandainya MUI lebih aktif meneliti setiap barang dan hal, terutama yang jelas memberi dampak tertentu pada masyarakat secara luas, untuk bisa segera mengetahui status halal-haramnya, tanpa menunggu ada keluhan? Atau kalau perlu segera setelah barang itu dikenal dan masuk ke negara tercinta ini, sebelum sempat beredar luas. Jadi setiap komoditi yang beredar sudah jelas halalnya. Mungkin MUI bisa membentuk sebuah lembaga khusus untuk ini, atau bekerja sama dengan badan atau departemen negara, seperti BPOM, Departemen Perdagangan, DEPKOMINFO, DEPDAGRI, DEPTAN, Kejaksaan dan sebagainya. Sekali lagi mari kita dukung dan berdoa untuk kesuksesan MUI ini. Kita bisa ikut andil dengan banyak hal, ikut kampanye anti rokok, menyadarkan tentang bahaya merokok. Bagi para perokok, termasuk saya yang mengaku pecinta alam tapi perokok ini, bisa juga membantu dengan berusaha berhenti merokok. Saya tahu itu berat......

Selasa, 09 September 2008

Miracle (Sajian Laris Bulan Ramadhan)

Seorang ibu tua sedang duduk melamun di beranda rumahnya.Kerudung lusuhnya seakan mewakili suasana hatinya. Ia sedang merindu. Mendamba.

Di tengah ketenangan lamunannya itu, seorang lelaki muda, tiga puluhan bertubuh subur, memasuki rumah.

"Assalamu'alaikum.."

"Wa alaikumus salam. Baru datang, Ri? Bagaimana dagangan hari ini?"

Juri, anaknya yang pedagang bakso itu, duduk dikursi sebelahnya. "Alhamdulillah, Mak. Lumayan.Insya Allah masih ada sisa, setelah dikurangi untuk kebutuhan rumah, terus untuk beli bahan-bahan buat besok. Masih ada empat puluh ribu masuk tabungan." Juri, mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan dari kantung bajunya, mengambil beberapa lembar dan menyerahkannya kepada Emak.

"Ini, Mak simpan. Mudah-mudahan bisa lebih cepet tabungannya ngumpul ya, Mak. Biar Mak bisa cepet berangkat hajinya."

"Kira-kira kapan ya, gue bisa bener-bener haji. Sudah pingiii..n banget. Mumpung masih ada umur. Emak kan sudah tua, Ri."

"Ya, doakan saja lah, Mak. Juri juga usaha terus. Emak bantu doa saja. Insya Allah kalau memang rejeki nggak bakal kemana kok, Mak. Juri mandi dulu ya, Mak"

Juri masuk ke dalam rumah dan menemui istrinya yang masih sibuk di dapur. Juri mencium kening istrinya dan menyerahkan beberapa lembar uang belanja harian. Ia kemudian menyempatkan diri membantu istrinya yang sedang menyiapkan takjil dan hidangan makan malam, sebelum akhirnya berangkat mandi.

*

Tubuh suburnya berguncang-guncang hebat mengikuti irama lontaran-lontaran kakinya. Ia bergegas menuju rumah, meninggalkan gerobak baksonya yang ia titipkan di Pos Kamling. Dengan tergopoh-gopoh ia mencari Emak dan istrinya, yang sedang sibuk di belakang, mencuci piring dan menyiapkan sayuran.

"Alhamdulillah, alhamdulillah. Mak. Mak. Insya Allah Emak bisa naik haji tahun depan. Bukan cuma Emak. Juri sama Entin juga bisa ikut berangkat, Mak."

"Astaghfirullah, Ri. Istighfar. Tenang dulu. Minum air putih sini...."

"Yeee..., Juri kan lagi puasa, Mak."

"Eh, iya. Itu... kamu kenapa? Kok lari-larian ke rumah. Pake bilang bisa naik haji tahun depan segala. "

"Bener, Mak. Alhamdulillah. Juri menang Undian Sabun, Mak. Beneran nih, kuponnya masih ada. Untung Juri simpen terus, nggak sampai kebuang. Tahu berapa hadiahnya, Mak? 1 Trilyun, Mak. Kita bisa naik haji barengan, kalau perlu orang satu kampung yang belum haji mau Juri ajak juga."

Emak merasa lututnya lemas. Ia kemudian berlutut dan bersujud syukur, diikuti oleh Juri dan Entin.

*

Begitulah, singkat cerita Juri sekeluarga naik haji di tahun berikutnya, dan mengajak tak kurang dari empat puluh lima orang tak mampu di kampungnya. Uang berlimpah, yang jelas banyak tak habis untuk biaya haji itu, digunakannya untuk mengembangkan baksonya. Tak lama, hanya sekitar setahun ia sudah mempunyai waralaba bakso dengan omzet 50 trilyun sebulan. Selanjutnya ia dikenal orang dengan sebutan Saudagar Haji Bakso Sabun.

*

Itu adalah sebuah cerita yang mirip dengan ditayangkan di televisi beberapa Ramadhan yang lalu, dan diulangi lagi Ramadhan lalu dan sekarang, juga di bahas di beberapa literatur (maksudnya ceramah-ceramah Ramadhan).

Begitulah. Segala konsumsi rohani kita, yang berupa tontonan, bacaan, ceramah-ceramah dan sebagainya, semakin meyakinkan kita dengan keajaiban. Kita menjadi bukan sekedar mempercayai keajaiban, sesuatu yang memang ada, yang terkadang menunjukkan kemahakuasaan Tuhan ke hadapan kita. Tapi kita menjadi semakin mengharapkan keajaiban. Akankah kita terus berangan-angan?

Selasa, 02 September 2008

Euforia Ramadhan

Hari pertama Ramadhan dan beberapa hari sebelumnya menjadi hari-hari istimewa yang biasa, mirip dengan suasana pada waktu yang sama tahun-tahun sebelumnya. Setiap bulan Ramadhan datang, kaum muslimin, selalu mengumandangkan “Marhaban, Ya Ramadhan”. Selamat datang Ramadhan. Ramadhan memang tamu yang senantiasa dinanti. Beberapa SMS yang kuterima selama beberapa hari menjelang Ramadhan lagi kuterima, berkaitan dengan sambutan datangnya Ramadhan ini. Untuk teman-teman yang mengirimiku SMS-SMS itu, aku mohon maaf kalau aku tidak membalas yang sepantasnya, dan tidak semuanya kubalas. Sebab aku bingung bagaimana menjawab SMS semacam itu. Pesan-pesan singkat yang agak panjang itu, berisi sambutan kedatangan Ramadhan, doa-doa dan permohonan maaf. Agak membingungkan buatku. Mungkin ini mirip seperti jika aku menunggu seorang teman bernama Melanie Putria, yang kemudian benar-benar datang padaku, kemudian aku mengirimkan SMS kepada Asti Ananta yang isinya, “Selamat datang, Melanie Putria. Mohon maaf atas semua kesalahanku di masa lalu ya...” Bingung, ‘kan? Yang ditunggu dan datang adalah Melanie Putria, kenapa SMSnya ke Asti Ananta? Terus, bagaimana dengan Maria Sharapova? Mungkin akan sangat sulit kalau kita melacak darimana kebiasaan ini datang. Yang paling mudah, dan paling baik kita lakukan adalah mencermati kembali setiap kebiasaan keberagamaan kita dengan mengacu pada anjuran dan contoh-contoh yang diberikan oleh Rasullullah saw dan para sahabatnya. Termasuk buatku sendiri, kita semua perlu tahu apa yang dilakukan Rasullullah dan para sahabat untuk menyambut Ramadhan. Siapa mau memberitahu? Pada masa Rasullullah, jelas tidak ada saling berkirim SMS, apalagi kuis Ramadhan seperti di tv, sebab handphone masih teramat mahal dan belum diproduksi. Tapi, sejauh yang pernah aku pelajari (maaf, ini jelas tidak bisa jadi acuan, sebab aku memang kurang belajar), Rasullullah dan para sahabat menyambut Ramadhan dengan tindakan, semuanya difokuskan untuk mempersiapkan diri menjalani ibadah di bulan Ramadhan dan memakmurkan masjid. (Aku belum pernah mendengar atau membaca hadits atau riwayat yang mengisahkan Rasullullah dan para sahabat saling menyapa dengan “Marhaban ya Ramadhan” menjelang bulan Ramadhan. Kalaupun mungkin ada, kita perlu memahami konteks bahasa yang berlaku di Arab pada masa itu, sebab dalam bahasa Indonesia, ungkapan itu jelas bukan salam sapaan dengan sesama kerabat dan teman-teman, tapi terhadap bulan Ramadhan yang menjelang.) Jadi bagaimana seharusnya yang kita lakukan untuk menyambut Ramadhan? Tanyakan pada orang yang mengerti. Aku tidak termasuk orang yang mengerti, sebab aku juga sedang belajar. Selama ini aku hanya berusaha konsisten dengan apa yang sudah aku pelajari. Menjelang Ramadhan, ada kebiasaan yang aku lakukan sejak masa kuliah dulu. Menghapus file-file gambar playmates (setelah lebaran hampir pasti cari lagi), dan sebisa mungkin mencari informasi akurat tentang amalan apa yang seharusnya dilakukan selama Ramadhan, juga mencoba memahami arti Ramadhan itu sendiri. Istilah kerennya, mencoba untuk memahami masa yang sudah lewat, berusaha menjadi baik, memperbaiki ibadah dan sejenisnya. Istilah agamanya, muhasabah. Jadi, kita berupaya lebih mengenal agama kita, lebih dalam masuk ke dalam masjid kita, menguatkan hati kita dan mencoba meremehkan segala yang berpotensi mengurangi pahala atau membatalkan puasa kita. Sebagian orang mencoba mengurangi potensi godaan ini dengan melakukan berbagai sweeping. Penyapuan ini dilakukan untuk berbagia tempat “maksiat” dan ada juga untuk warung makan yang buka di siang hari. Aku ingin memberi beberapa usul untuk para sweeper ini. Untuk tempat-tempat hiburan malam, lokasi pelacuran, karaoke ++, pijat ++ dan segala maksiat yang lain, sweeping mohon dilakukan tidak hanya tiap hampir Ramadhan, tapi frekuensinya dipersering. Untuk warung makan yang buka siang hari, mbok ya jangan disweeping. Syariat puasa adalah tidak makan, minum dan berjima’ (untuk pasutri, kalau bukan pasutri, berjima’ ya ga ada urusan sama puasa, tetep haram) dari subuh hingga terbenamnya matahari. Sama sekali tidak ada larangan untuk berdagang. Lagipula, di bulan Ramadhan pun, masih banyak yang membutuhkan warung makan di siang hari. Tidak semua orang itu muslim yang wajib berpuasa, dan tidak semua muslim wajib berpuasa. Banyak teman-teman kita non-muslim, perempuan hamil dan menyusui, wanita haid, dan lain-lain yang tidak wajib berpuasa Ramadhan, bahkan sebagian dianjurkan untuk tidak berpuasa. Teman-temanku perantau di Jogja dulu, yang tidak berpuasa, kalau Ramadhan terpaksa ikut menanggung derita tidak makan siang, karena tidak ada warung. Untung saja kemudian ada beberapa warung makan yang berbaik hati, buka di siang hari, hingga walaupun agak langka, teman-teman itu masih bisa makan. Wahai, teman-teman sweeper warung makan, apakah anda sendiri yang takut tidak kuat menahan godaan lapar? Ada kebiasaan lain yang muncul di masa-masa menjelang Ramadhan dan terutama nanti saat Lebaran. Kalimat yang juga banyak muncul di SMS yang kuterima adalah “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Ini sudah menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat kita. Apakah Rasul mengajarkan ini? Setahuku, tidak. Apakah ini hanya euforia semata? Budaya atau agama? Bisa jadi ini dianggap sebagai salah satu langkah muhasabah, untuk mencuci bersih segala kotoran sebelum memasuki bulan Ramadhan. Saling meminta maaf memang tidak salah, malah baik. Tapi seingat saya, kita dianjurkan meminta maaf dengan tulus tiap kali berbuat salah. Bukan membiasakan diri menunggu Ramadhan atau Syawal. Saling minta maaf memang baik, dan kebiasaan saling minta maaf ini nyaris tanpa efek buruk. Nyaris? Seorang kawan pernah berkata, “Sebenarnya aku nggak enak sih udah jahar sama si anu. Tapi minta maafnya nanti saja, pas Lebaran. Kan udah biasa. Biar nggak malu gitu lho.” Jadi kita termasuk yang mana? Budaya atau agama? Kayaknya nggak nyambung, ya? Euforia Ramadhan memang mempengaruhi hampir kita semua. Termasuk aku. Buktinya, aku membuat tulisan ini. Jadi, biar tidak terlalu salah sasaran, marilah kita bersama-sama menatap cakrawala, langit, jam dinding, dan segala yang menunjukkan waktu, dan berujar, “Marhaban, woooiii.... Ramadhan.” Lebih nggak nyambung, ya?

Kamis, 21 Agustus 2008

Wisata

Wisata adalah salah satu kegiatan yang mampu menjadi sarana memenuhi rasa keingintahuan dan kebutuhan untuk senang-senang. Untuk saat ini, rasa ingin tahu inilah yang sepertinya lebih diutamakan. Demi rasa ingin tahu ini juga--juga kesenangan--orang-orang semakin kreatif menciptakan obyek wisata. Waktu terjadi gempa di Jogja-Jateng, saya diajak teman-teman mengunjungi salah satu lokasi korban gempa. Ternyata di sana sudah banyak pengunjung di sana. Tujuan mereka jelas, memberikan bantuan kepada para korban. Hanya saja, banyak rombongan yang 2 bus membawa bantuan yang satu bus. Orangnya lebih banyak. Di perjalanan, aku sempat melihat sekelompok ibu-ibu dengan penampilan mencolok, , berbaju trening yang biasa dipakai senam, bertopi golf, berkacamata hitam melihat berkeliling, berbincang, menunjuk-nunjuk, dan sesekali tertawa. Seperti sekelompok ibu-ibu arisan yang biasanya berkata "Begini, lho, Jeng". Ada juga kelompok bapak-bapak, muda-mudi, dan ada juga yang sendiri-sendiri yang berseliweran di daerah yang sedang dipenuhi reruntuhan bangunan itu. Sayangnya, rombongan-rombongan ini hampir selalu menyebabkan kemacetan, yang tentu saja menghambat laju bantuan. Bagaiman dengan para korban? Aku yakin mereka bersyukur dikunjungi, dan dibantu. Tapi, keadaan yang hiruk pikuk kacau balau itu mungkin yang menyebabkan muncul beberapa papan dan spanduk dengan tulisan yang agak kurang enak dibaca. "Kami butuh dibantu, bukan difoto" atau "Ini daerah bencana, bukan tempat wisata". Arus bantuan dan pelancong tetap berdatangan. Mulai ada "wisata bencana". * Ada suatu saat, Kota Batu dihebohkan dengan terhantamnya Dr Azahari, salah satu gembong teroris paling dicari, oleh bom, dan tewas. Media massa ramai membicarakannya. Yang menarik, tak lama sesudah kejadian itu, muncul banyak hal baru yang tidak biasa di sekitar lokasi kejadian. Yang paling banyak adalah papan-papan penunjuk jalan dan penanda lokasi, reruntuhan rumah tempat Azahari mati. Untuk apa tanda-tanda itu dipasang? Apakah aparat kebingungan mencati lokasinya? jelas tidak mungkin. Tanda-tanda itu adalah untuk para pengunjung, wisatawan yang ingin menyaksikan lokasi ledakan yang sekarang menjadi situs reruntuhan bangunan yang penuh dengan reruntuhan, selongsong peluru dan sisa bom. Entah sensasi apa yang didapat para pengunjung itu. Tapi yang pasti, telah terbit paket baru dalam industri pariwisata, "wisata teroris". * Beberapa hari ini di televisi, berita yang sedang hot adalah tentang Ryan si Jagal Jombang. Tersangka mutilasi dan pembunuhan berantai yang kabarnya mencoreng nama baik Korps Gay Indonesia. Setiap hari, siaran berita, bahkan infotainment, membahas berita ini. lagi-lagi ada fenomena menarik, berupa kerumunan orang di sekitar lokasi penggalian mayat. Di lokasi dan jalan-jalan menuju lokasi sudah banyak tanda-tanda penunjuk jalan menuju lokasi. "Lokasi pembunuhan Ryan". Mungkin sudah ada juga penjual makanan dan minuman keliling yang tidak tersorot kamera. Atau juga Komidi Putar. pada suatu penayangan berita, seorang berasal dari Jepara diwawancarai, mengatakan kalau ia baru pertama kalinya datang ke Jombang. Dan itu adalah untuk melihat situs lubang-lubang kuburan. Karena kejadian itu, si empunya rumah berniat menjualnya. Tapi karena reputasinya yang terlanjur seperti itu, tentu saja sulit laku. Akhirnya ada seorang pengusaha dan ulama yang mau membeli dan berniat menjadikannya sebagai pondok pesantren dan situs wisata. Wisata? Ya, wisata kriminal, genre terbaru dalam industri pariwisata kita. * Kita bisa melihat, kebutuhan akan pelancongan dan keingintahuan, telah memunculkan kreatifitas orang-orang, terutama yang tertarik pada industri pariwisata. Ide-ide semacam itu akan selalu bermunculan, mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi, mengikuti kebutuhan-kebutuhan yang selalu tercipta, sekalipun itu berkaitan dengan sesuatu yang ganjil, absurd, dan/atau mengerikan. Kita sudah punya bermacam wisata, wisata pendidikan, sejarah, alam, kriminal, bencana, teror, dan sebagainya. Kita bisa menunggu munculnya wisata konflik, wisata krisis, wisata takdir buruk dan sebagainya. Selamat menunggu.....

Senin, 18 Agustus 2008

Percepatan Pendewasaan (Sinetron 2)

Berita-berita yang ditayangkan di televisi menunjukkan betapa zaman terus berubah, semakin cepat. Mungkin ini akibat lingkaran timbal balik manusia dan sistem yang dibuatnya. Orang membuat sistem, sistem mempengaruhi orang, dst. Percepatan itu didukung oleh adanya peristiwa-peristiwa yang memberi pengaruh besar. Demokrasi, globalisasi, informasi dan si-si yang lain, memudahkan orang-orang untuk saling menilai, meniru, berubah. Dan itu ternyata membawa pengaruh yang luar biasa pada kepribadian dan pendewasaan. Sepertinya di masa lalu, aksi-aksi--terutama yang melibatkan massa, demonstrasi, kegiatan politik--menjadi dominasi para aktifis dan mahasiswa. Kemudian diikuti dengan demonstrasi murid-murid SMU yang mempertanyakan kebijakan pendidikan. Waktu berlalu, para ABA (Anak Baru ABG) yang duduk di bangku SMP berdemonstrasi memprotes kebijakan biaya sekolah dan penggunaan dana BOS. Semakin hari makin banyak anak SD yang berdemo karena merasa tidak nyaman bersekolah, sekolahnya disegel, atau sekedar dijewer kepala sekolahnya. Inilah keistimewaan perkembangan zaman, sepertinya setiap orang makin tahu hak-haknya dan makin berani memperjuangkannya. Pertentangan biasanya muncul dari "golongan tua" yang merasa dikurangajari. Orang-orang yang merasa lebh berpengalaman ini merasa yakin "golongan muda" sedang melesat menuju kerusakannya sendiri. Mungkin ini benar. Protes-protes itu, dari kedua golongan, biasanya ditunggangi kepentingan karena merasa teraniaya hak-haknya. Semua orang menuntut hak, bagaimana dengan kewajiban? Media massa bisa menjadi salah satu sarana yang menjembatani kepentingan-kepentingan ini. Sepertinya media kita sangat fokus pada upaya-upaya pendidikan dan percepatan pendewasaan. Sinetron, sebagai salah satu tontonan yang paling banyak ditonton, menyajikan tema-tema yang sama untuk level umur yang makin lama makin turun. Dulu, cerita cinta ditampilkan dengan tokoh-rokoh orang dewasa, pekerja, eksekutif, pembantu dan sebagainya. Kemudian para "Romi dan Yuli" ini berubah menjadi orang-orang berseragam SMU. Sinetron itu berlatar sebuah sekolah, tapi hampir tak ada kegiatan sekolah, belajar, atau yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar. Temanya masih berkutat di pacaran, rebutan pacar, dan persaingan dalam pesta dansa. (Apa untuk pacaran saja, butuh seragam?) Kemudian seragam itu berubah menjadi seragam biru putih SMP, dan makin turun menjadi anak SD yang berpacaran. Bahkan yang terakhir, ada anak-anak balita yang masih didorong dalam kereta bayi pacaran juga, pake baju pengantin pula. Mungkin di masa depan ada anak yang baru lahir langsung mimpi basah, begitu melek, sudah bisa berpikir, "Ngeceng di mana, nih?". Ada pula yang begitu bisa membaca "ini Budi" sudah berpikir untuk terjun ke dunia politik atau yang baru bisa berhitung 1-2-3 sudah memikirkan "Jualan apa, nih?". Anak-anak Indonesia menjadi peniru yang luar biasa. Sinetron itu yang jadi panutan. Kita semua dipaksa sadar kalau keadaan di luar sana berubah teramat cepat. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap dengan segala perubahan itu, apa kita siap berubah? Kebanyakan dari kita ingin mengikuti perkembangan, mengikuti perubahan, berubah. Setiap orang ingin lebih makmur, pintar, sukses, kaya dan mengalami segala 'pemuasan'. Tapi masih banyak juga yang tidak siap dengan perubahan. Ada orang ingin kaya, tiba-tiba kaya, malah bingung, shock, stress, dan terlena. Ada yang merasa telah mendapatkan ilmu, merasa sangat hebat dan memasang kacamata kuda, tak sanggup melihat sekitar, dan tidak tahu mau apa dengan kepandaiannya itu. Ada yang baru mengalami mimpi basah, langsung berpikir mencari "sarung keris". Sepertinya, masih dalam momen ulang tahun kemerdekaan ini, ada satu ungkapan yang harus selalu kita dengungkan di pikiran kita. "SIAP, GRAKKK...!!"

Rabu, 13 Agustus 2008

Twister, Behind the Scene

Musim bencana di Indonesia semakin variatif dan kreatif. Beberapa hari yang lalu terjadi kejadian alam yang lagi-lagi bikin panik, angin puting beliung. Kejadian yang di Jogja, pas kebetulan aku ga di sana, keliatan ngeri juga di tipi. Atap stasiun jadi kayak bajunya Komeng pas habis naik Jupiter. Itun-itungan lagi dah. Tapi sepertinya kita tidak perlu membahas terlalu banyak tentang beberapa kejadian ini. Sudah banyak media kita yang cukup responsif dan kagetan, yang dengan segera akan membahasnya, mulai dari proses kejadian secara ilmiah, total kerugian, sikap pemda, dan masih banyak lagi tinjauan secara ipoleksosbudhankam. Lagipula, pembicaraan yang berlebihan mungkin berakibat buruk secara psikologis buat yang mengalami. Sebagian dari mereka mungkin akan menjadi terlalu manja, merasa diperhatikan, bahkan sebagian akan merasa bahwa momen bencana adalah kesempatan untuk dapat bantuan. Sebagian dari sodara-sodara yang membantu memang benar-benar ikhlas dan tidak mempermasalahkan itu. Ada satu hikmah besar yang ada dibalik kejadian angin berputar itu, palling tidak menurut saya. Kenapa angin berputar itu sampai sekarang disebut dengan "puting beliung" atau dalam bahasa kerennhya "axe nipple wind". Padahal setahu saya, beliung itu ngga ada putingnya, yang ada putingnya itu kan mammalia, (bukan mama lia, lho... ;p). Setahuku tuh, ini jenis hewan yang ada (.)(.) nya.Mungkin orang yang menamai seperti itu, pada saat pertama kali mengalami pusaran angin, dia berteriak, "aduh, puting, kayak dilempar beliung. Orang ini berteriak begitu sebenarnya bukan karena terlalu panik, tapi karena dia memang baru bisa baca-tulis. Dia belum begitu hafal dengan urutan abjad a-z. Jadi, waktu dia mengeja, huruf yang seharusnya "s" itu meleset satu huruf di urutan abjad sesudahnya. Tapi memang mungkin masyarakat kita belum terlalu pandai dan masih latah, kesalahan itu masih terjadi sampai sekarang. Jadi ini hikmah yang mungkin bisa kita ambil, mari kita sukseskan semua usaha untuk pemberantasan BADAN (buta aksara danKita angka). Kita berharap agar kita tidak asal memberi nama sesuatu dengan nama yang terlalu lucu, atau bahkan saru. Terlebih lagi di jaman yang serba nanotechnology ini, yang mungkin berkembang menjadi piccotechnology nantinya, kita tidak serba ketinggalan, tidak bingung lagi. Kalo nanti warung-warung seafood di Jepang sudah mampu membuat nasi goreng plankton, kita juga sudah bisa membuat semur sellulosa atau soto amoeba. Atau minimal kita ngga panik lagi kalo dikejar angin puting gergaji, serem mana coba gergaji sama beliung.Semoga sedikit hipotesis sederhana ini dapat ditelaah dan ditindaklanjut oleh departemen-departemen yang berwenang, demi kemajuan kita bersama, sampai ajal memisahkan kita.... walah opo maneh tho iki, puting aku..

Sinetron

Ada masanya televisi kita dijejali dengan sinetron-sinetron bergenre "Aku Hamil". Sinetron-sinetron genre ini biasanya dimulai dengan cerita seorang gadis yang mendatangi ayah, ibu atau kerabatnya yang lain, kemudian ia berkata "Akyu hamil". Kemudian disusul dengan sedikit adegan-adegan selingan berupa pertengkaran, kemarahan, tangisan berjamaah, pengusiran dan sejenisnya. Selanjutnya cerita pun dimulai. Ada banyak variasi cerita dalam genre ini. Bisa menjadi cerita perjuangan calon ibu mempertahankan kehamilannya-karena tak mau menggugurkan, sendirian karena pejantannya tak mau bertanggung jawab, kemudian menjadi seorang ibu yang mungkin terlalu muda untuk membesarkan anaknya sendiri. Tanpa suami, dibuang keluarga. Kasihan, bukan? Pada akhirnya ibu muda single parent tadi menjadi makmur, kaya entah bagaimana caranya dan berhasil membesarkan anaknya dengan sukses dan lancar. Atau bisa juga ibu muda tadi menemukan seorang pengusaha sukses yang mau menerima ia dan anaknya. Mereka menikah dan bahagia hingga akhir sinetron. Bisa juga cerita tentang si bayi yang berjuang sendiri menjadi besar, karena sang ibu juga ogah bertanggung jawab. Si anak berjuang sendiri memperjuangkan hidupnya yang sendiri, sepi dan keras. Tapi akhirnya ia berjaya juga. Masih banyak variasi ceritanya. Cerita itu bisa berkembang menjadi kisah perseteruan dua orang yang ternyata bersaudara, pembunuhan, incest, dan sebagainya. Tapi yang pasti, kebanyakan cerita itu berakhir bahagia. Genre ini, kebanyakan penggemarnya adalah ibu-ibu. Menurut beliau-beliau itu, selain jalan cerita dan penyajiannya yang menyentuh perasaan, juga mengandung banyak pesan moral. Katanya, cerita-cerita itu banyak mengandung pesan, tentang kesabaran, ketabahan, bahwa Tuhan akan selalu menolong hamba yang menderita dan sabar, dan masih banyak lagi. Menurutku, ada satu pesan terpenting yang disampaikan cerita-cerita itu: 'zina itu tonggak kesuksesan dan kebahagiaan'. Entah apa yang ada dalam kepala orang-orang yang membuat sinetron macam ini. Mungkin kepalanya itu adalah scrotum yang salah posisi tumbuhnya. Mereka berusaha menyampaikan pesan tentang pentingnya tanggung jawab dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab. Kemudian genre lain-menyesuaikan dengan keadaan-mulai muncul, membangkitkan selera pasar, yang diikuti dengan menjamurnya genre yang sama. Begitu seterusnya sehingga muncul banyak genre lain yang mempengaruhi dan terpengaruh pasar. Ada sinetron religi, yang ditandai dengan banyaknya adegan orang sembahyang, mengumbar bahasa Arab, tokoh-tokoh yang berkerudung, berbaju gamis, kemana-mana mengurut untaian tasbih. Kemudian ada sinetron komedi, yang menyajikan apa pun asal penonton tertawa, sinetron berseragam, yang banyak menampilkan ABA (Anak Baru ABG) dan sebagainya. Tapi kalau diamati, variasi tema utama yang disampaikan oleh beragam sinetron itu tidak seberagam genrenya. Tema-tema itu berkisar pada keluarga (perselisihan tak kunjung usai), cinta (a.k. pacaran dan rebutan pacar), seks dan mistis yang membodohkan. Kebanyakan sinetron itu menjadi iklan mimpi. Para pembuatnya benar-benar brilian, telah menembak tepat pada kebutuhan pasar. Kita semua sedang butuh mimpi. Sayangnya, mimpi yang ditawarkan itu adalah mimpi basah di siang bolong di tengah gurun di musim panas. Melemahkan. Para pembuatnya semakin giat dan gencar membuat, karena memang laku. Ibu-ibu, yang menjadi mayoritas penggemar sinetron, adalah punggawa rumah tangga, perdana menteri urusan rumah yang seringkali menentukan "nonton apa kita sekarang?". Maka hampir pasti semua orang ikut menontonnya. Maaf, tidak ada maksud menyalahkan para ibu. Sinetron ada di tv, tv adalah salah satu ikon peradaban. Peradaban terdiri dari manusia dan sistem yang saling mempengaruhi. Orang membuat tv, tv mempengaruhi orang, orang mengembangkan tv, semakin mempengaruhi orang....... dan seterusnya. Lingkaran setan. mengapa setan yang disalahkan? Mungkin tidak ada yang perlu disalahkan, atas kekhilafan dan ketidaksadaran. Bahkan mungkin kita tidak perlu membesarkan dan mempertanyakan apa ada yang salah. Hanya saja, kita mestinya sadar, kalau sebenarnya TERSANJUNG itu cukup satu.

Post category